Tugu Jogja , mungkin bisa dikatakan tugu tertua yang menjadi simbol suatu kota. Tugu ini merupakan hasil renovasi dari tugu sebelumnya. Renovasi dilakukan setelah kerusakan karna gempa bumi yang menimpa Yogyakarta pada 10 Juni 1867. Gempa yang diandai dengan candra sengkala Obah Trusing Pitung Bumi, atau tahun jawa 1976, tersebut juga memgakibatkan runtuhnya sebagian Taman Sari. Sampai sekarang belum ada catatan khusus yang menyatakan bahwa gempa tersebut mempunyai korelasi dengan aktifitas Merapi.
Tugu Jogja (baru) ini direnovasi oleh Opzichter van Waterstaat ( Kepala Dinas Pekerjaan Umum JWS van Brussel) di bawah pengawasan Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danurejo V. Peresmiannyta oleh HB VII pada 3 Oktober 1889 atau 7 Sapar 1819 Tahun Jawa. Sesuai Candra Sengkala yang tertulis pada Tugu Baru tersebut, Wiwaraharja Manunggal Manggalaning Praja, yang selain berarti tahun 1819, juga berarti pintu menuju kesejahteraan bagi para pemimpin Negara. Sangat jauh dari semangat yang tersirat pada bentuk Tugu Lama.
Tugu Jogja ini berada dalam satu garis lurus imajiner Merapi – Keraton – Laut Selatan. Bisa dikatakan merupakan satu titik sakral yang mendeskripsikan hubungan harmoni makrokosmos dan mikrokosmos. Sesuai dengan kosmologi Jawa Kuno. Tugu Jogja merupakan batas utara planologi Kota Raja Yogyakarta. Dimana batas selatannya adalah Panggung Krapyak ( Gedhong Panggung ). Kota Raja sendiri merupakan sentral dari keseimbangan hubungan tersebut.
Bentuk Tugu Jogja sekarang tidaklah sama dengan bentuknya yang lama. Malahan lebih pendek 10 meter. Bentuk awal nya adalah tugu silinder yang mengecil ke atas dengan puncak berbetuk bola. Tugu Jogja lama mempunyai tinggi 25 meter. Sedangkan namanya adalah Tugu Golong Gilig. Golong berarti bulat (bola) , dan Gilig berarti silinder.
Secara spiritual, bentuk silinder sendiri menggambarkan hubungan kesatuan antar manusia ( Penguasa dengan rakyatnya. Sedangkan bentuk bola pada puncak merupakan menggambarkan kesatuan hubungan antara Sang Pencipta dan hambanya (Raja Jogja). Ini adalah konsep kosmologi, Manunggaling Kawula Kalawan Gusti. Selain itu secara tersirat merupakan simbol kesatuan rakyat dan rajanya (Sultan) dalam menghadapi penjajahan.
Untuk tujuan politik devide et impera, maka Belanda merenovasi dan meredesain Tugu Jogja menjadi seperti sekarang. Dan usaha itu tidak pernah berhasil. Persatuan Penguasa Jogja (Sultan) dan Rakyatnya masih kukuh hingga sekarang. Tidak mengherankan jika daerah ini mendapat predikat daerah istimewa.
Catt :
- Nama lain dari tugu Jogja adalah De Witte Paal ato Tugu Pal Putih
- Terletak di Perempatan Jl. AM Sangiaji ( Utara), Jl. Jendral Sudirman ( Timur), Jl. Diponegoro ( Barat) dan Jl. Mangkubumi ( Selatan)
- Konon Tugu Lama Jogja dibangun hamper bersamaan dengan berdirinya Keraton
- Tanggal terjadinya gempa dalam penanggalan jawa, 4 Sapar 1284 H/1796, jam 05.00
- ” Manunggaling Kawula Lan Gusti ” cenderung identik dengan ajaran Syeh Siti Jenar, zaman Wali Songo. Bersatunya Tuhan dengan hamba-Nya
Saya pernah baca buku yang judulnya saya lupa.
Sebagian cerita dari buku itu yang masih saya ingat (buku itu lumayan tebal) adalah tentang pencari karyu bakar dan rumput di hutan sedang kehausan. Lalu ia melihat seekor burung bangau terbang munuju sebuah tempat. Dia ikut terus bangau tersebut karena ia percaya bahwa dimana ada bangau disitu pasti ada air. Betul, bangau tersebut turun menuju sebuah tempat yang tak lain adalah sebuah sendang (kolam) dibawah pohon yang besar. Namun ketika si pencari rumput tersebut akan meminum air sendang muncul seekor ular yang besar kepalanya ber mahkota. Pencari tersebut hendak lari karena ketakutan. Namun ular tersebut berkata kepada si pencari rumput “Wahai engkau pencari rumput, janganlah takut kepadaku karena aku tak akan menyakitimu atau bahkan memakanmu! Aku hanya ingin berpesan kepadamu sampaikanlah pesan ini kepada rajamu bahwa di sinilah tempat yang paling ideal untuk dijadikan pusat kerajaan Ngajokdjakarta Hadiningrat”.
Lain kali lagi ah ceritanya….capek