Saat ini kamera bisa dikatakan “kebutuhan pokok “, bukanlah barang ekslusif lagi. Bisa dikatakan hampir sama dengan handphone dan laptop. Memang sih semakin hari teknologi semakin murah.

Kamera pertamaku ditahun 1997 kemudian beralih ke SLR saat SMA. Kuliah aku menggunakan pocket, secara DSLR adalah barang “gila”. Procummer saja sudah sangat keren pada saat itu. Saat kuliah hanya satu orang temenku yang menggunakan kamera DSLR, maklum keluarga mapan diatas rata-rata. Waktulah untuk pertama kali aku memegang DSLR.

Tahun 2008, DSLR sudah mulai membumi, walaupun tidak semarak sekarang. Sebenarnya range harga untuk DSLR hampir sama, diatas 4 juta rupiah. Dengan tabungan pas-pasan aku pun beli. Jujur saat itu aku masih merasa keren bila tentang tenteng DSLR saat jalan. Secara DSLR termasuk kelas wah pada saat itu :p.

Sejak pertengahan 2009, pengguna DSLR semakin menggila. Ditahun 2010 setiap jalan hampir ketemu orang ber-DSLR. 2011, malah sering ketemu anak SMP sudah ber-DSLR. Koq anak SMP, sudah beberapa kali aku menjumpai “alumni “ balita sudah metengteng DSLR.  Hmm…….semakin banyak yang sadar asyiknya merekam dunia. Banyak alasan memiliki kamera (DSLR), hobi, mencoba hal baru, merekam aktivitas atau malah sekedar mengikuti trend :p.

Kamera mendukung narsisme. Karena itulah menjadi fitur yang wajib di handphone dan laptop. Tidak hanya narsisme tapi juga untuk sekedar sharing pengalaman atau malah pamer :p. It’s okay, hal yang terpenting dalam hidup seorang manusia adalah pengakuan eksistensi. Dan itu salah satu cara.

Saat ini aku lebih sering membawa pocket camera. Ringan dan efektif. Walaupun untuk perjalanan “besar” pasti membawa DSLR.

Apapun kameranya, apapun gearnya , sebenarnya kualitas foto ditentukan oleh kepekaan orang dibalik lensanya. Tanpa mengaburkan variabel keberutungan juga. Nam tidak dipungkiri, bagikui lebih mengasyikkan mengintip dari pada cuman melihat LCD. Bukan masalah keren tapi masalah taste saat mensetting, meski kadang hasilnya hanya bagus dimataku :p