Hajj, The Greatest Journey


Malam Wukuf

Dahulu kala, orang menempuh jarak puluhan ribu kilometer dengan segala macam cara menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Berjalan kaki, mengendarai kuda dan unta, dan lain-lain. Perjalanan yang membutuhkan waktu bulanan bahkan hingga tahunan. Pengorbananan yang luar biasa. Pada masa kakek dan nenek kita, mereka berangkat haji dengan menggunakan jalur laut, mengarungi samudera Hindia terapung-apung diatas kapal selama berbulan-bulan. Apakah mereka bisa sampai dengan selamat hingga tempat tujuan? Mereka tidak pernah tahu. Bahkan mereka tidak akan pernah tahu, apakah mereka bisa kembali lagi kerumah mereka, menemui kembali keluarga tercinta yang mereka tinggalkan. Tidak ada alat komunikasi pada masa itu. Sehingga baik yang berangkat maupun keluarga yang ditinggalkan tidak akan pernah tahu bagaimana kondisi satu sama lain. Melihat banyaknya tantangan yang harus dihadapi dalam perjalanan, kehabisan bekal, perampok, bajak laut, badai, dan lain-lain, hampir tidak ada bedanya dengan pergi untuk berperang.

Apakah semua pengorbanan yang mereka lakukan itu, semata-mata hanya karena itu adalah rukun Islam ke-5? Kupikir tidak. Karena jika ditilik dari banyak kisah, banyak dari mereka bahkan tidak memenuhi salah satu syarat kewajiban haji, yaitu istita’ah (mampu), alibi yang sering digunakan banyak orang pada saat ini. Sehingga hanya ada satu alasan yang paling masuk akal menurutku. Mereka melakukan semua itu karena bagi mereka pergi menunaikan ibadah haji adalah panggilan jiwa. Murni karena keinginan, kerinduan yang menggelora, terlepas dari kewajiban atau bukan. Seperti halnya benda yang akan jatuh menuju pusat gravitasinya, maka Ka’bah adalah center of gravity umat muslim. Dimana setiap hari mereka mengarahkan sajadah mengarah menghadap kesana, sehingga sudah naluriah ada ketertarikan untuk membawa mereka menuju pusatnya secara langsung. Aku yakin niat mereka sangat tulus, murni karena Sang Pencipta. Yang berbeda dengan orang pada saat ini yang memungkinkan muncul banyaknya pamrih-pamrih lain. Haji bagi mereka adalah sebuah perjalanan suci. Apalah arti semua rintangan dan cobaan yang menghadang demi perjuangan menggapai sesuatu yang sangat bermakna, yang sangat mereka idam-idamkan. Mereka siap menghadapinya. Jika Tuhan memang mengundang mereka untuk hadir sebagai tamu di rumah-Nya, maka mereka yakin Tuhan akan mempermudah jalannya.

Sekarang, (mungkin) diluar kesulitan untuk mencari biaya, semuanya serba mudah. Untuk yang berangkat melalui jalur resmi, uang tinggal disetorkan dan tinggal tunggu waktu berangkat saja. Semua sudah diatur oleh pemerintah. Cukup dengan duduk manis diatas Boeing 747-400 sudah bisa sampai. Hotel dengan kasur empukpun sudah siap menanti. Komunikasi dengan keluarga di tanah airpun bisa dengan sangat mudah. Yang perlu mereka lakukan hanya aktifitas ibadah saja. Tapi kenapa rasanya panggilan jiwa itu semakin melemah suaranya. Tidak usah melihat statistik dulu dimana pendaftar haji semakin banyak. Tapi coba lihat orang disekitar kita (atau mungkin berkaca pada diri sendiri) yang sudah (bahkan berlebih) masuk kategori mampu. Masih banyak diantara mereka yang lebih senang menunggu. Menunggu punya mobil dulu. Menunggu punya berkeluarga dulu. Menununggu anak sudah besar dulu. Dan lain-lain. Semoga setelah masa menunggu mereka usai mereka masih diberi kesempatan, baik kesempatan dari segi biaya maupun umur. Sehingga mereka tidak dzolim terhadap harta dan umur mereka. Dimana harta dan umur mereka sudah habis dipakai untuk hal lain, yang seharusnya bisa digunakan untuk ber-haji.

Kembali ke statistik, mayoritas jamaah haji Indonesia yang berangkat adalah orang lanjut yang sudah lanjut usia. Memang diatara mereka banyak yang harus berjuang untuk mengais rejeki sedari muda dan menyisihkannya sebagai ongkos naik haji hingga akhirnya baru bisa terkumpul diusia mereka yang menjelang senja. Tapi tidak bisa dipungkuri, bahwa banyak juga faktor lanjut usia itu lebih karena disebabkan faktor menunggu itu tadi. Yang pada intinya sama saja dengan ‘menunggu tua’.

Haji identik dengan ibadah fisik. Yang paling tidak untuk rukun dan wajibnya saja, harus melakukan wukuf, melempar jumrah minimal dalam 3 kesempatan (hari), tawaf mengelilingi Ka’bah 7 putaran dan pulang pergi Shafa-Marwah sebanyak 7 kali. Tapi apakah jauh-jauh pergi ketanah suci hanya melakukan ibadah wajibnya saja. Tidakkah ada keinginan untuk bisa thawaf setiap saat, umroh sunnah sebanyak mungkin. Ibadah yang hanya bisa dilakukan ditanah suci. Dan masih banyak kegiatan ibadah yang lain. Yang semuanya itu akan lebih mudah dan nikmat dilakukan ketika tubuh kita belum dimakan usia. Aku bersyukur, sangat-sangat bersyukur diberi kesempatan dapat berangkat haji diusia yang terbilang masih muda. Sehingga banyak hal yang benar-benar bisa kumaksimalkan disana. Fisik tidak menjadi halangan sama sekali.

Buatku pribadi, rukun hajiku memang kuselesaikan dalam waktu tidak sampai 24 jam, seluruh prosesi hajiku kuselesaikan dalam waktu 4 hari, namun keseluruhan kisahnya berlangsung selama 4 tahun. Mulai dari persiapan, bagaimana harus sering berpuasa untuk menyiasati gaji yang ‘cuma’ 1,3 juta harus melakukan cicilan haji tiap bulan 1,5 juta. Hingga kisah ditanah suci. Bejalan kaki seorang diri mengekspoler Kota Nabi. Menyaksikan kemeriahan Arafah dimalam hari menjelang wukuf. Sholat di Masjid Namiroh, yang hanya bisa dilakukan diwaktu haji saja. Melempar jumrah Aqabah seorang diri diteruskan berjalan kaki ke Mekkah untuk ikut sholat Ied, dan melaksanakan thawaf dan sa’i haji. Menikmati tidur dijalanan Mina hanya beralaskan selembar kain dan batal tiup. Keluar Mina mencari hewan qurban. Limbung dihantam badai gunung diatas Moassem Tunnel. Keluar rombongan untuk melakukan nafar sani sendiri. Jadi ‘pengungsi’ bersama ribuan orang lain di Masjid Khaif. Dan masih banyak kisah yang tidak akan habis diceritakan sehari semalam. Bagiku, haji adalah perjalananku yang terhebat. Petualangan terhebat. Liburan terhebat. Belum, dan sepertinya tidak akan pernah terkalahkan. Karena haji adalah perjalanan hati dan jiwa, tidak hanya kesenangan duniawi belaka. Aku masih tidak habis pikir, kenapa orang bisa menunda atau bahkan tidak mau diberikan liburan terhebat yang akan pernah mereka rasakan. Liburan yang membuat mereka dapat cuti dari kehidupan duniawi selama paling tidak 40 hari.

Hari ini, siang ini, ketika tulisan ini dibuat, saudara-saudaraku seiman yang sedang berada di Arafah, bersiap untuk memulai prosesi rangkaian ibadah haji mereka. Semoga ibadah mereka diberi kemudahan, diterima disisi-Nya, dan dijadikan haji mereka sebagai haji yang mabrur. Dan bagi yang belum diberi kesempatan, yang sudah memiliki kerinduan yang menggelora, diberikan kemudahan untuk dapat melaksanakan suatu saat nanti sebelum ruh lepas dari jasadnya. Dan semoga, Tuhan masih berkenan memanggilku lagi sebagai tamu-Nya. Amin

5 thoughts on “Hajj, The Greatest Journey

  1. Crita yg meggugah bro..
    Kenangan yang terindah, sayang hanya seorang diri.Smoga kita bisa kesana lagi dengan pasangan kita tentunya,amin.

Leave a comment