Gratifikasi II : Di Indonesia Saat Ini


Praktek – praktek itu berlanjut hingga kini meski ada perubahan mekanismenya. Diungkapkan oleh Verhezen, pemberian hadiah adalah alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintahan dan elit-elit politik yang kemudian menjurus ke arah suap. Dalam kontek budaya bangsa ini, dimana terdapat praktik umum pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan yang sifatnya personal, sangat mengarah pada suap.

Menurut penulis Harikristuti, pemberian hadiah terjadi perkembangan mekanismenya, tidak hanya antara bawahan dan atasan. Pemberian hadiah adalah tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau memberikan kesenangan pada sang pemberi hadiah. Kemudian muncullah istilah “komisi” yang selanjutnya para pejabat pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa hal tersebut adalah “hak mereka”. Pengamat lain , Lukmantoro (2007), mengungkapkan juga bahwa pengiriman parsel pada saat perayaan hari besar keagaamaan atau diluar itu dimaksudkan untuk memuluskan suatu proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik gratifikasi.

Kebiasaan atau tradisi saling memberi dan menerima yang teradopsi di sistem birokrasi menimbulkan kendala dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Pada akhirnya berefek pada kinerja pejabat publik, menciptakan ekonomi biaya tinggi dan dapat mempengaruhi kualitas dan keadilan layanan yang diberikan pada masyarakat.

Tidak semua gratifikasi itu ilegal ada juga yang tidak. Namun jikalau sudah berhubungan dengan jabatan dan atau pekerjaan, jelas ilegal. Contoh simple adalah, ketika anda mengalami gangguan pada kelistrikan anda kemudian datanglah petugas Pelayanan Gangguan untuk memperbaiki gangguan. Setelah selesai kamu memberikan uang tips tanda terima kasih , baik petugas itu minta atau tidak, atau anda menawarkan makanan untuk mereka, jelas itu adalah gratifikasi ilegal. Kenapa ? karena jika petugas tersebut tidak mempunyai kewajiban lagi, akankah kamu memberikannya dengan cuma-cuma ? Tidak khan ?

Berdasar ketentuan pasal 12B UU No.31 th 1999 juncto UU No.20 th 2001 (selanjutnya baca gratifikasi yang dilarang) maupun yang tidak, berikut gratifikasi yang sering terjadi dan ilegal :

  1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
  2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja­bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut, jikalai terkandung vested interest dari pihak pemberi terkait dengan jabatan dan kewajiban penerima
  3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
  4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe­lian barang dari rekanan
  5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe­jabat
  6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
  7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun­jungan kerja
  8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare­na telah dibantu
  9. Pemberian pinjaman barang dari rekanan kepada pejabat/pegawai negeri secara cuma-Cuma
  10. Pemberian oleh rekanan melaui pihak ketiga
  11. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih atas jasa yang diberikan
  12. Pemberian fasilitas penginapan oleh Pemda setempat kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri pada saat kunjungan daerah jika atas pemebrian tersebut penggunanya tidak dikenakan biaya.

Mungkin dengan gratifikasi kita akan bisa membangun network. Banyak teman banyak “saudara”. Memudahkan beberapa urusan kita. Mungkin gratifikasi tidaklah “sebrutal” korupsi. Namun gratifikasi adalah candu, sekali dicoba sulit untuk keluar. Ketika kita menerima suatu pemberian karena jabatan kita, akan timbul pamrih kita, akan ada harapan kita untuk mendapatkannya lagi, sadar tidak sadar.

Gratifikasi berat dihilangkan. Ada saja kesulitan menolak gratifikasi, sungkan, tidak enak kalau menolak, atau malahan memang kita sedang butuh jadi cuek saja menerima atau malah meminta terang – terangan. Ketakutan tidak tidak memberi gratifikasi akan dipersulit dan perasaan tidak enak karena sudah “budaya” juga merupakan faktor beratnya menghilangkan budaya gratifikasi.

Namun salah satu pemimpin kita telah memberi contoh. Sehabis merayakan pernikahan putrinya, Sri Sultan melaporkan ke KPK perihal kado pernikahan  tersebut. 50 ribu – 200 ribu mungkin tidaklah terlalu menggoda, bagaimana dengan nilai 1 juta atau 1 milyar ? Bagaimana menolaknya ? Kesulitan tentunya. Mau melaporkan ke KPK ada rasa ketakutan akan menghancurkan “perekonomian: keluarga yang kita laporkan. Dilema, andai saja kita bisa berpikir secara digital , 0 dan 1….

Saya tidaklah bersih, malahan busuk tapi saya ingin berubah, mulai dari saya sendiri dan di hari ini…..

* Sebagian tulisan diambil dari Buku Saku KPK

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s