Fort Santiago


Kurang lebih satu kilo Chimot beserta tiga rekannya berjalan ke timur menyusuri batas Intramuros. Satu gerbang hitam Intramuros yang lesu merayu waktu menyambut mereka. Terasa seperti di sebuah kota eropa begitu melangkah masuk. Jalanan bersih dimana lalu lalang Jeepney terasa kontras dengan bentuk bangunan. Seperti sengaja mengingatkan para turis ,ini bukan eropa tapi Manila.

Papan nama Fort Santiago terlihat di sisi timur perempatan pertama dekat  Plaza de Roma. Terlihat para turis menuju kesana. Kurang dari 100 meter kami sudah di depan loket.

Fort Santiago adalah bagian dari dinding tua Intramuros. Berada di sisi timur sebagai pertahanan awal dari serangan laut. Sebelumnya merupakan pertahanan dari Raja Sulaiman yang kemudian direbutkan oleh Spanyol dan pada tahun 1571 dipugar seiring Manila menjadi ibukota baru koloni Spanyol.

Barak – barak yang berdiri di dalam benteng sekarang hanyalah puing – puing. Berserakan menemani patung – patung yang berdiri sekedar memberi gambaran kepada para pencari sejarah kisah – kisah keagungan dan kejatuhan suatu masa.

Di dalam area Benteng terdapat patung José Rizal, patriot bangsa Filipina. Jejak – jejak kaki buatan mempresentasikan langkah – langkah terakhirnya dari penjara menuju tempat eksekusi. José Rizal bukanlah tokoh militer, pun juga tokoh politik. Dia seorang seniman, penyair dan penulis……… Revolusioneri.

Penghormatan kepada José Rizal juga diwujudkan dalam museum yang terdapat di dalam benteng ini. Museum ini merupakan penjara terakhirnya sebelum dieksekusi. Berbagai puisi dalam bahasa Inggris tertera di setiap sudut ruangan. Dinding juga lantai. Lukisan eksekusi sang pahlawan terpampang besar. Sejenak membisikkan pada kami, terkadang idealism  harus dibayar dengan darah.

Chimot terdiam sejenak, apa yang sedang dipikirkan sang pahlawan saat itu. Sesosok patung duduk dalam temaram dengan sebuah pelita kecil yang menjaganya untuk tidak gila karena tekanan bathin. Patung itu diam ditemani oleh bayangan yang tercipta setiap cahaya menyapa. Drama bisu yang mampu menyampaikan cerita tentang legenda patriotik sang pahlawan.

Di seberang, tiga sobatnya terpaku membaca kalimat yang menyala di dinding museum :

“I have always loved my poor country and I am sure I shall love her to the last moment if men should prove unjust to me; my future, my life, my joys, I have sacrificed all for love of her. By my fate what it may, I shall die blessing her and wishing for her the dawn of her redemption.”

Fort Santiago, satu seri novel sejarah patriotic negeri Filipina dan Jose Rizal adalah tokoh utamanya. Membakar nasionalisme dalam getirnya kenyataan hidup berbangsa……..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s