Gratifikasi I : Catatan Sejarah Nusantara


Biaya ekonomi di Republik ini yang tinggi menjadi salah satu faktor pertumbuhan ekonomi yang tidak maksimal. Gratifikasi sendiri sangat berpengaruh terhadap biaya ekonomi. Karena gratifikasi paling berhubungan dengan dunia usaha. Bagaimana tidak bila seseorang akan memulai usaha atau mendapatkan “proyek” yang berurusan dengan masyarakat harus dihadapkan dengan birokrasi yang tidak jarang kunci pengetuk nurani pemegang otoritas adalah uang.

Korupsi sudah jelas bagaimana praktiknya, tapi bagaimana dengan gratifikasi ? Beberapa pihak menganggap itu “abu-abu” yang bisa dimaklumi menjadi “putih”. Asalkan dikasihkannya setelah pekerjaan , tidak masalah, tapi jangan sampai sebelum keluar pemenang,kata temenku yg pegawai negeri atau BUMN. “ Itu sudah “keharusan” kalo ga mau repot” , cerita salah satu temen yang kebetulan dulunya suplier material di salah satu perusahaan negara. Adalagi juga, “ Kita tidak meminta, tapi bagaimana caranya mereka ngasih ….“ itu dari kawan sejawat. Dan yang paling menghenyakkan adalah nasihat mantan bos ku karena kau menolak, “ Jangan pernah minta, tapi terima saja kalo diberi, itu rezeki, ga baik menolaknya”.

Itu kebudayaan. Aku menyebutnya begitu. Sesuatu yang berawal dari sikap baik yang kemudian menjadi kebiasaan busuk yang menggerogoti moral bangsa ini dengan dalih kekerabatan hubungan… Padahal penuh rasa pamrih yang terselip ditetesan air liur manusia.

Kenapa aku sebut kebudayaan ?

Berdasarkan catatan I Tsing (Zan Wen Ming) pada abad VII praktek pemberian hadiah dilakukan oleh  pedagang dari Champa (sekarang Vietnam dan sebagian Kamboja) dan China dalam upaya untuk membuka “jalur” perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya. Saat itu, tahun 671 M, Sriwijaya merupakan pusat perdagangan di Asia Tenggara. Namun saat kedatangan mereka ke Sumatra, para pedagang yang berbahasa China dan Sansekerta berdasarkan kitab Budha disambut oleh prajurit Kerajaan Sriwijaya yang berbahasa Melayu Kuno dan Sansekerta, sehingga terjadilah permasalahan komunikasi.

I Tsing menceritakan para pedagang memeberikan koin-koin perak pada para prajurit pada saat akan menemui pihak kerabat Kerajaan Sriwijaya. Adapun tujuan pemberian tersebut diduga untuk mempermudah komunikasi. Akhirnya pemberian itu menjadi kebiasaan tersendiri di kalangan pedagang dari Champa dan China pada saat berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menjalin hubungan baik serta agar dikenal identitasnya oleh pihak Kerajaan Sriwijaya.

Seiring waktu, kebiasaaan tersebut membuat para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan dibawah permintaan yang akhirnya manjadi pemerasan.

Catatan I Tsing lain adalah saat sebagian Kerajaan Champa berperang dengan Prajurit Sriwijaya, para pedagang China memberitakan bahwa prajurit – prajurit kerajaan di wiulayah Indonesia tanpa ragu-ragu meminta sejumlah barang pada saat para pedagang akan menemui kerabat kerajaan. Jika menolak maka para pedagang akan dilarang memasuki pekarangan tempat melakukan perdagangan.  Disebutkan pula bahwa pedagang Arab yang memasukiwilayah Indonesia yang telah mempelajari adat istiadat wilayah Indonesia dari pedagang lain, seringkali memberikan uang tidak resmi agar diizinkan berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Indonesia.

bersambung …………………….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s