Sandalku (ga penting banget)


Ini sandalku yang kupakai sehari-hari dalam 9 bulan terakhir. Entah kenapa aku suka sekali memakai sandal ini. Hanya sandal biasa. Malahan jepitnya sudah putus yang harus ‘dioperasi’ agar dapat digunakan. Sandal jepit biasa, tapi punya nilai historis dan emosional bagiku. Semua berawal dari 9 bulan yang lalu di Gunung Rinjani.

Malam itu, malam kedua dan terakhir kami di Plawangan Sembalun, base camp terakhir sebelum puncak Rinjani. Esok hari kami berniat untuk turun gunung, menuju Segara Anak. Malam itu kami menikmati malam dengan mengelilingi api unggun kecil yang kami buat, sambil makan malam sop buatan Mantos dengan ditemani minuman hangat. Dan disaksikan tatapan tajam puluhan monyet, yang memang bermarkas disana, untuk setiap makanan yang masuk mulut kami. Puas bercengkrama, Aku dan Son masuk ketenda untuk beristirahat. Mantos, Edo dan Ervan harus kembali ketendanya yang terpisah cukup jauh, satu punggungan bukit di plawangan ini. Kenapa terpisah, akan aku ceritakan dilain waktu.

Pagi pun datang. Saatnya aku dan Son untuk membereskan tenda dan packing. Keluar dari tenda, DUG, sandal kami tidak ada. Jelas-jelas kami taruh didepan pintu tenda. Kami geledah setiap sisi tenda kami. Sial, tidak ketemu juga. Jelas ada yang mengambil sandal kami. Kami mulai mencari kambing hitam. Tidak mungkin lah, pendaki yang lain mencuri. Kami para pendaki adalah orang yang care satu sama lain. Jadi, terdakwa yang paling masuk akal hanya satu, yaitu MONYET. Kami mulai menggeledah setiap sudut, setiap tumpukan sampah, disetiap tempat mangkal para monyet. Karena tetap tidak ketemu juga, Son mulai naik pitam. Son mulai berteriak-teriak, memisuhi setiap monyet yang berada diradius jangkauan teriakannya.

BALEKNOO SANDALLKUUU, CC%$@e*&!<*!!!!!!! (kembalikan sandalku *umpatan*)

Setelah puas menyampaikan makiannya kepada makhluk tidak berakal itu, aku ajak Son untuk pasrah aja, ya sudah mau bagaimana lagi, terpaksa kami harus nyeker (berjalan tanpa alas kaki). Packing selesai. Dan kamipun berjalan menuju tendanya Mantos dkk. Gila, kerikil-kerikil kecil benar-benar sangat menyiksa dikaki. Apalagi ditambah kami menggendong carrier belasan kilo, yang kata Pak Newton menambah gaya tekan dikaki. Dan sialnya lagi, waktu kecil aku dan Son adalah anak yang patuh pada nasehat bapak/ibu guru, yang menyuruh untuk memakai alas kaki karena katanya ditanah banyak kumannya. Jadilah kulit kaki kami tipis. Setiap langkah adalah siksaan. Akhirnya sampai juga kami di tendanya Mantos dkk. Sampai keringat dingin aku menahan sakit dikaki. Son pun tampak sama buruknya denganku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku bisa bertahan tanpa alas kaki menuruni tebing menuju segara anak, yang normalnya memakan waktu 4 jam perjalanan. Bisa tahun depan sampainya.

Kemudian, datanglah ide brilliant dari Son. Memang keadaan bisa memaksa kita untuk menjadi kreatif. Kami potong-potong matras untuk dijadikan alas kaki, dengan diikat tali tampar, dan luarnya dipakaikan kaos kaki agar posisinya tidak bergerak banyak. Tidak cukup nyaman, tapi jauh lebih nyaman daripada tidak pakai apa-apa. Dasar Mantos adalah preman berhati mulia, disetengah jam perjalanan, dia menggantikan posisi Son dengan meminjamkan sandalnya, dan dia sendiri memakai sandal matras bersamaku.

This slideshow requires JavaScript.

Perjalanan 4 jam menuruni tebing ini tidak terlalu terasa menyiksa. Walaupun kadang aku harus berteriak ketika ada batu tajam menusuk kakiku. Matras tipis ini tidak dapat melindungi dengan sempurna dari batuan tajam, namun cukup membantu melindungi dari kerikil-kerikil kecil yang rasanya sangat menyakitkan ketika tidak memakai alas kaki. Sampai di Segara Anak rasanya lega sekali. Kulepas alas kaki matrasku. Lecet parah disana-sini. Perjalanan hingga turun ke Senaru masih sangat panjang. Dengan 6-8 jam perjalanan tersisa, mungkin lecetnya semakin tidak karuan, tapi kupikir aku akan bertahan daripada nyeker. Yang jelas aku sangat bersyukur sudah sampai Segara Anak.

Kami menikmati sore di Segara Anak ini. Sambil berjalan menyusuri setiap sudut, tanpa sengaja Ervan menemukan sandal jepit putus yang tampaknya dibuang oleh pemilik sebelumnya. Ervan pun kemudian menyerahkan kepadaku. Oh, thanks God. Engkau masih menyelamatkanku sekali lagi. Entah bagaimana nanti aku mengakalinya, yang jelas alas sandal ini jauh lebih tebal daripada matras. Sesore ini aku sibuk mengoperasi sandal temuan ini agar dapat digunakan. Dan kemudian kami juga mengais-ngais tumpukan tempat sampah untuk menemukan sandal bekas yang dibuang untuk dapat diguanakan Mantos.

Sandal ini menemaniku hingga turun ke Senaru. Dan menemaniku hingga saat ini. Aku berhutang nyawa kaki pada pemilik sebelumnya sandal ini yang telah membuang sandal putusnya, dan Ervan yang yang telah menemukan sandal ini untukku.

Itu ceritaku, apa ceritamu?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s