Situ Patengan


Aku selalu menyebutnya Situ Patenggang sebelum ke sini. Pada awal tahun 2008 aku pernah berencana ke danau ini selepas dari Kawah Putih. Namun karena saat itu terlalu sore dan suasana mendung, aku pun mengurungkan niat.

Tahun 2012, dengan menggunakan motor Vario yang baru dibelinya, Mantos mengajakku ke sana. Perjalanan ditempuh sekitar 1,5 jam melewati Soreang. Meski hari sabtu ternyata lalu lintas menuju kesana tidak ramai, padahal jalur ke Situ yang juga searah dengan jalur kawah Putih biasanya ramai kalo weekend.

Berbekal panduan dari HP kami menyusuri kea rah setelah Kawah Putih. Sempat ragu sehingga kamipun bertanya kepada warung kecil di sebuah kebun teh. Ternyata masih sekitar 3 km dari kebun teh itu. Sedikit lagi. Dan sampailah di gerbang masuk.

Aku lupa berapa rupiah untuk membeli tiket masuknya. Yang ada dipikiran hanya ingin – ingin cepat parkir dan melihat danau.

Situ Patengan, namanya berasal dari bahasa sunda pateangan – teangan yang berarti saling mencari. Legenda cinta antara Ki Santang dan Dewi Rengganis menjadi dasar dari kisah asal muasal  danau ini. Di Jawa ada juga legenda tentang Dewi Rengganis di Gunung Argopuro, namun tidak menyebutkan nama Ki Santang.

Situ Patengan sendiri berada di kaki gunung Patuha. Dari danau inilah air sungai Cirengganis. Di tengahnya terdapat pulau kecil yang bernama Sasuka atau biasa disebut pulau Asmara. Salah satu spot yang terkenal disini adalah Batu Cinta. Batu Cinta dipercaya merupakan tempat dimana sang dua sejoli Ki Santang dan Rengganis bertemu menuai rindu. Dan dari airmata sang dewilah konon air danau ini berasal. Batu Cinta tidaklah terletak di pulau yang berada di tengah itu , namun di tepi sisi lain Situ. Untuk menuju kesan bisa ditempuh dengan perahu dayung atau sepeda air. Kami menempuh waktu kurang lebih 10 menit untuk mencapainya dengan sepeda kayuh ( 30000 IDR/jam ). Namun kami ga berhenti di lokasi batu itu.

Sangat mengasyikkan mengayuh sepeda air. Meski aku tidak bisa berenang , nekat saja. Kami menyempatkan diri untuk berhenti di salah satu cadas di tengah danau dan Mantos pun berpose disana.

 Hamparan hijau teh yang tertata rapi dan hutan menambah keasrian panorama. Sejuknya mengiris penat. Dinginnya memeluk kegalauan untuk sejenak. Dalam kekaguman suasana haru biru, rindu  itu merasuk sekilas namun liar. Seekor burung putih terdiam di bebatuan. Tiada yang lain di sekitarnya. Entah apa yang ada dibenaknya. Rasa kesepiankah ? Mungkin….

Tanpa disadari burung itu seperti menuliskan prosa kesepian di suatu tempat yang melahirkan sebuah legenda kuno tentang cinta, rindu dan penantian ….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s