Meniti Tatar Tinggi Parahyangan
Entah apa yang berkelebat di benakku saat itu. Mendengar keinginan Ihsan untuk mendaki gunung membuatku tergugah untuk menemani. Satu tahun sudah aku terakhir mendaki. Dan di tahun ini belum satupun gunung yang aku daki. Rencana ke Agung dan Tambora semakin hari semakin “kabur” tersaput ruang dan waktu.
Ku pastikan rencana ke Cikuray. Ku minta Chimot untuk mengirim tenda kebanggaannya. Selain itu aku juga merengek – rengek meminta Mantos menemaniku. Terus terang aku sedikit kawatir tentang gunung yang baru kudengar saat di Garut ini. Cikuray, bukanlah sebuah gunung yang popular, apalagi aku memilih rute yang ga biasa, yaitu rute Bayongbong. Kebanyakan pendaki Cikuray memilih jalur Dayuehkolot, selain pendek juga lebih jelas dengan “rambu – rambu “ petunjuk. Tapi bagiku, jika ada dua jalur kenapa tidak aku coba dua jalur itu.
Hari itu, hari sabtu di bulan Juni pukul 05:30. Aku dan Mantos menunggu Ihsan dan Mas Bam di PLN Bayongbong. Beberapa menit kemudian mereka berdua datang juga. Dengan bantuan temen PLN Bayongbong kami diantar ke Desa Cintanagara yang merupakan titik pendakian.
Di samping SD Cintanagara kami turun. Di sana kami bertemu dengan teman Mas Bam yang diminta untuk menunjukkan jalan. Jujur baru kali ini aku dan Mantos mendaki pake “guide”. Namun sebagai “leader” aku harus mendengarkan anggota kelompok yang menginginkan bantuan penunjuk jalan. Secara aku memaksa memilih jalur ga biasa.
Kami memulai perjalanan sekitar setengah sepuluh. Melintasi ladang warga. Sebenarnya sebelum berangkat aku ingin BAB, namun penjual gorengan yang kumintai izin pakai toiletnya terkesan enggan, ya sudah ku tahan saja. Gengsi. Akhirnya setengah jam perjalanan perutku mules banget. Untung saja bisa tertahan. Meski harus bergantian tas dengan Mantos.
Teriknya mentari menembus kaosku, serasa seperti jarum. Tidak jarang aku terduduk menunggu hati berkompromi dengan stamina sambil menatap kawah Papandayan di seberang sana.
Setelah satu jam-an. Kami mulai memasuki hutan Cikuray. Rimbun dan lembab. Jalan semakin menanjak. Ritme nafasku lebih teratur dengan sedikitnya cahaya mentari yang tersaring oleh dedaunan. Memang benar petunjuk jalur ini sangat sedikit dan hampir tidak ada. Hanya beberapa tali rafia yang diikatkan di ranting dan dahan. Ini adalah pendakian dimana tidak aku temukan pos pendakian seperti gunung – gunung yang pernah kudaki. Tidak pernah kutemukan tanah yang cukup lapang sama sekali. Hanya tanjakan.
16.00 kami sampai di puncak. Untuk pertama kali dalam hidupku, hanya dengan 6 jam kurang aku mencapai puncak dari pendakian awal.
Meniti tatar parahyangan
Meredam gejolak kerinduan
Dalam nafas tersenggal,bathin pun terus bertanya
Untuk apa nyawa ini merasuk pada jasad
Senja mencekikku dalam getir
Ku tatap sahabat yang resah
Jelas ada asa untuk sang kekasih
Matanya sendu dalam nanar
Begitupun negeri ini
Masih terlelap dalam mimpi
Raganya sakit , jiwanya miskin
Bingung tentang kata adil
Oh Tatar Parahyangan
Sejenak kami terlupa akan beban
Karena moleknya ragamu
Karena harumnya nuansamu
Setelah makan malam, ku rebahkan diri dalam sleeping bag. Sudah kucapai puncak. Seperti tidak ada yang perlu kuraih lagi dalam pendakian ini. Mungkin hanya pulang saja. Tidur saja. Dasar sombong.
Dingin membelit tulang. Waktu menunjuk angka lima. Pagi telah menggeliat, aku pun keluar dari tenda. Di luar telah ramai para pendaki yang menunggu sunrise. Mantos sudah menyiapkan tripod, tangannya sibuk men-set kamera. Namun akung sang mentari tenggelam dalam tebalnya awan.
Pagi itu kami makan nasi liwet plus mie goreng. Tanpa pertimbangan kami menggunakan banyak air. Padahal aku bawa dua, Mantos bawa satu dan Ihsan membawa enam dan satu pocari sweat. Mungkin saat aku tidur mereka pesta minum – minum hangat. Makan selesai, begitupula packing kamipun beranjak menuju Stasiun Relay TV, Dayeuh Kolot.
Aku yakin dalam dua jam akan sampai. Aku pun berlari seperti biasa. Dan … Aaargghh. Kaki kananku terkilir. Untung saja tidak sampai terjatuh. Pos demi pos ( di jalur Dayeuh Kolot-Cilawu terdapat pos pendakian ) kulewati dengan lebih memaksimalkan beban pada kaki kiriku. Kaki kiriku mulai bergetar kelelahan, jelas ini efek dari jarang sekali olahraga.
Ketika kaki kiriku sudah bergetar tidak biasa, beban tubuh ku pindah ke kaki kanan yang telah terkilir. Beberapa menit kemudian pertama kalinya aku terjatuh. Ada yang salah dengan dua kakiku. Sudah terlalu tua kah tubuh ini. Nafasku masih teratur dalam simfoni detak jantung, namun benakku mulai panic.
Aku mencoba berdiri dan berjalan dengan bantuan tongkat. Sudah pos 1, sebentar lagi sampai ke kebun teh. Dan untuk kedua kalinya aku jatuh. Dua lututku menghantam tanah keras. Aku berteriak keras kesakitan. Ku minta rekanku untuk duluan. Kini tinggal Aku dan Mantos. Aku berjalan miring saat ada tebing dan ngesot jika bertemu turunan. Damn !!!……….
Kini kami sudah keluar dari hutan. Kebun teh terhampar hijau di depan. Tersentuh kabut dalam teriknya mentari. Jam 10.30, harusnya setengah jam yang lalu aku sudah di bawah sana. Ku luruskan kakiku dan ku naikkan di gundukan tanah dengan tanganku. Ku ambil ranting pohon, kemudian kupukul – pukulkan ke kaki bawah lutut. Masih terasa sakit, namun aku ga bisa menggerakkan jemarinya, apalagi menekuk lutut. Bila sudah nekuk aku ga bisa meluruskannya tanpa bantuan tanah. Aku lumpuh…….
12.00. Sudah satu setengah jam aku istirahat. Tetap saja kaki tidak bisa digerakkan. Dari awal aku menolak untuk digendong, lebih baik aku merangkak. Namun haruskah aku mempertahankan gengsiku, sedangkan teman – temanku menungguku dengan rasa lapar dan lelah dalam waktu yang tidak jelas ? Mantos mengambil inisiatif memaksaku menggendongku. Seorang yang berat badannya hanya 50 kg mampu menggendong orang yang beratnya 56 kg dengan jalur turunan. Setiap sekitar 100 meter kami berhenti. Siang itu panas dan berdebu. Untungnya rekanku datang, menggantikan Mantos. Sungguh memalukan aku ini.
Tinggi Cikuray hanya 2600 mdpl. Tidak ada apa – apanya dibanding gunung – gunung yang pernah kudaki, dimana semuanya diatas 3000 mdpl. Cikuray hanya sebuah gunung muda kecil, tiada berkawah, tak pernah meletus. Jauh dibanding dengan Raung, Lawu dan gunung berapi lainnya yang pernah kudaki.
Namun disinilah aku pernah jatuh dan menyerah dengan tubuh yang lemah ……………..
Di satu titik tatar Parahyangan
Tercipta saat para Hyang tersenyum
Semangat masih menyala dalam redupnya raga
Sangat keras Cikuray menampar
Namun sederhana tuk dicerna
Bahwasanya mengingatkan
Kesombongan adalah dosa pertama dalam sejarah
Dimana Iblis harus menaggalkan jubah surga
……………………….
Dan Kesombonngan hanyalah Dia
Papaarn2 yg menambah rasa patriotisme dan keindahan tanahair.
I like it. thanks, RA.
________________________________