Lima bulan setelah kunjungan pertamaku ke bromo, tepatnya bulan November 2010, Bromo meletus untuk kesekian kalinya. Geliatnya bagai murka Sang Pencipta. Deru abu mengepal hitamkan birunya langit. Dan nafas panasnya membungkam kehidupan di sekitarnya.
Kurang lebih selama empat bulan Bromo meletus terus menerus. Lontaran pijar bagai kembang api tanda duka yang terlihat indah. Tidak ada korban jiwa akibat letusan gunung yang namanya diambil dari nama Dewa Brahma – Dewa Pencipta sekaligus Dewa Api-.
Meski Bromo mempunyai siklus letusan 30 tahunan, warga Tengger tetap memilih bertempat tinggal di situ. Bagi mereka Bromo adalah gunung suci dimana pusat semesta berada. Dan Bromo adalah tempat dimana segala sesuatu tentang suku Tengger berasal. Cinta tanah kelahiran menjadi kekuatan untuk hidup di bentangan lempeng tektonik yang dinamis.
Beberapa bulan lalu aku ke Bromo kembali. Ada yang berubah meski telah satu tahun lebih letusan Bromo berakhir. Debu vulkanik bertebaran lebih liar. Suasana hijau tidak serimbun dulu. Pura kecil di atas puncak hilang. Tangga dan tanda batas di bibir Kaldera lumer dan tertimbun pasir debu. Dan sang kaldera Bromo menganga lebih lebar dari sebelumnya.
Apa yang ada di dunia ini berada dalam roda kehidupan. Semua berpasangan terkecuali Dia. Kehidupan adalah sesuatu yang indah dan tidak jarang menyesakkan jiwa. Begitupun kematian ………
Bromo adalah symbol kehidupan dan kematian …………………….
Catt : cek pemandangan Bromo sebelum letusan 2010 di sini
super sekali