Life is started at fourty , yup…. Tahun itu adalah tahun kami menapaki usia 2/5 abad alias 40 tahun, angka yang menunjukkan sudah cukup lama waktu yang diluangkan untuk “mampir minum the/kopi”. Meskipun tanda tanda kematian seperti uban dan rabun sudah muncul sebelum 40 nyatanya masih ada beberapa obsesi yang belum padam. Salah satunya …… naik gunung hahahaha……….
Kebiasaan menyambut pertambahan usia dengan mendaki sempat menjadi kebiasaan dahulu – yaa… sebelum pundak ini masih banyak space untuk sandaran cinta – . Tetiba Mant memunculkan ide itu kembali ke kami secara di sebentar lagi beliau tepat berusia 40 tahun. Dengan janji manis akan menanggung biaya pesawat pulang – pergi membuat saya dan C4 menyanggupi untuk ikut. Hahahaha….. maklum kalau harus mengeluarkan biaya untuk main – main tanpa ngajak “ menteri keuangan” , izinnya perlu jauh hari. – Pasti diizinkan sich cuman proses administrasinya cukup panjang.
Puncak Gunung Agung di Pulau Bali adalah tujuan kami bertiga. Wacana ini sudah muncul sejak lama bahkan direncanakan sebelum ke Rinjani tahun 2011. Sempat muncul kembali wacana ini sepulang dari pendakian Tambora tahun 2015 dan kemudian tenggelam seiring derasnya laju kebutuhan mengepulkan asap dapur. Dan semua ternyata ada waktunya jika sudah “digariskan” . Ketika Sang Esa membuat 3 variabel : waktu, kesehatan dan dana bertemu dalam satu titik optimal maka terwujudlah.
Chimot berangkat via SUB, Mant Via CGK dan aku via HLM , kami bertemu di DPS di 1 Juni 2023 sekitar 20.00 WITA. Ada kerinduan yang tak dapat diwakilkan dalam bentuk apapun kecuali umpatan hahahaha……….. Ya …. sudah 4 tahun kami tidak dalam satu ruang dan waktu.

Malam itu selepas nyate madura kami menuju penginapan di Great Mountain View Villa daerah Sidemen. Perbekalan sudah kami lengkapi ketika meinggalkan bandara, jadi esok tinggal naik saja.
Alhamdulillah, setelah menempuh perjalan hampir 45 menit-an lebih kami sampai di penginapan sekitar jam 23.00 WITA. Gerimis masih saja bercengkerama dengan malam. Kami mulai bersih – bersih , melanjutkan perbincangan ga penting yang sempat terputus sesaat nyate tadi usai….. kemudian lanjut bobo malam.
…………..
Dering alarm menegur dan membantu kami untuk mengingat-Nya. Pagi itu rintik hujan masih mesra memandikan bumi. Meski ada kekawatiran gerimis ini akan lama tapi kami abaikan saja. Kami lanjutkan bualan – bualan sambal menunggu waktu sarapan bisa disiapkan.
Hingga kami sarapan tirai kelabu mendung masih menutup panorama. Mentari seakan tak kuasa menembus. Hawa dingin pegunungan terasa menggoda untuk mengenang masa muda kami yang kalau dipikir – pikir memunculkan pertanyaan “ ngapain sich ? “. Keberhasilan , kegagalan , ketidakmampuan, pencapaian dan apalah itu melintas cepat dalam haru , mengiris sakit ulu hati seiring menyadari tahun ini sudah 40 tahun kami diberi kesempatan untuk hidup.
Ah sudahlah……. Waktu sudah menunjukkan saatnya kami berangkat untuk menyelesaikan apa yang sudah lama tertunda.
Dengan menggunakan mobil carter kami menyusuri jalan ke arah barat daya kaki gunung Agung, mengarah ke komplek pura terbesar di Bali yang dibangun pada tahun 1284 oleh Rsi Markandeya , Pura Besakih. Setahuku di komplek ini ada pura terbesar yang dinamai Pura Penataran Agung. Nama itu sekejap membangkitkan imajinasiku tentang bagaimana rupa candi utama di komplek Candi Penataran Blitar. Bisa jadi wujudnya mirip dengan pura terbesar itu.

Pukul 10.15 WITA kami sampai di halaman Pura Pengubengan. Kabut masih cukup pekat pagi itu. Pos pendaftaran pun masih tutup… (atau memang ga pernah buka ya ?) . Sejenak kami melakukan pemanasan ringan sembari memastikan apa saja yang perlu dilengkapi mumpung ada warung buka di depan pura.

Setelah “janjian” dengan driver agar dijemput besok jam 13.00 WITA Kamipun memulai perjalanan dengan didampingi oleh Shiro pada pukul 10.35 WITA.

Shiro ? yup seekor anjing putih yang sejak awal kami datang seperti mengawasi kami. Kami menamainya seperti itu, seperti nama anijngnya Shin-can. Di beberapa video youtube atau cerita di blog kami mendapat cerita akan ada anjing yang akan mengikuti kita hingga Pos 1. Dan itu benar , Shiro mengikuti kami dari belakang. Bahkan tidak jarang saat dia mendahului, dia akan menunggu kami sampai kami kembali di depan dia. Apakah dia minta makan ? … Hmmm kami putuskan tidak memberikan apa – apa, selain “takut” juga kami tidak membawa makanan yang dapat dikonsumsi oleh karnivora.
Terik mentari yang terhalang oleh pepohonan cukup meringankan perjalanan kecil ini. Sempat pula gerimis menyegarkan lelah yang meradang.
12.05 WITA kami sampai di Pos 1. Ah…. Ternyata begini rasanya raga tua yang jarang olah raga. Mudah lelah, mudah lapar hahaha ……. Sepotong roti dan sebungkus biscuit coklat menjadi santapan siang itu. Hampir tiada topik yang terlontar kecuali mempertanyakan perkiraan durasi untuk mencapai pos 2. Sekitar 15 menit kami pun kembali melanjutkan perjalanan.
Jalur yang kami lewati cukup beragam. Dari datar, kemiringan kurang dari 15º, harus jalan menunduk, hingga harus menanjak curam. Pundak seperti menjerit, paha pun menangis. Ah ….maklum jarang gerak. Pengennya istirahat per setengah jam, nyatanya kadang ga sampai 10 menit sudah duduk dan duduk menyandarkan tas. Bisa jadi heart rate sudah mencapai di atas 160 an. Nafas tersenggal hingga mata pun perih terkena keringat.

Dari informasi yang kami dapat, jarak Pos 2 dari Pos 1 lebih Panjang daripada Pos 1 – Pura Pengubengan. Estimasi sekitar 3-4 jam jalan santai. Btw sejak kami berangkat hanya sekali kami ketemu pendaki lain, itu pun mereka turun. Bisa jadi di Pos 2 bakal sepi, pikir kami.
Yup.. Pos 2 adalah tempat yang direkomendasikan untuk nge-camp. Namun begitu “datarannya” tidak terlalu luas. Hanya cukup 4 – 5 tenda kecil saja. Memang kami dengar, rerata pendaki Gunung Agung melakukan tip top alias tidak nge-camp. Mereka mulai mendaki malam, langsung muncak kemudian langsung turun. Memang secara jarak dan durasi, pendakian gunung ini masuk akal dilakukan secara tip top. Tapi kalau buat kami ya ….. anu.. gimana ya ? hahahaha…….
Alhamdulillah Menjelang 16.00 kami pun sampai di Pos 2. Dan memang benar hanya ada 1 tenda yang telah berdiri di sana. Sesegera kami dirikan tenda di tempat yang cukup bakal bikin nyaman untuk istirahat nanti malam.

Mengiringi hadirnya senja, milyaran tetes air selepas berwujud uap terkondensasi lalu bergulung lembut dan rapat searah angin bertiup. Mewujudkan lautan awan yang menggetarkan imajinasi. Dingin dan hangat silih berganti meraba raga kami hingga akhirnya waktu pun menutup hari itu dengan tirai malam.

Apa itu kejayaan ?
Apa itu kemuliaan ?
Munafik dan naif bercengkerama dalam kebingungan
Tak jarang ego dan curiga pun ikut menyela diskusi mereka
Tanya jawab tak kunjung usai
Begitu panjang tak jarang berlebihan
Ada geram yang tertahan lama tuk bertanya
Kami ini dibodohi atau terlalu bodoh ?
Ntah kenapa kami masih berharap
Pada apa yang tak pasti bisa digenggam ?
Ya… bagiku mencintai negeri ini ternyata tak lebih dari ikhlas …