Sindoro 13 – 14 Juni 2009
Gunung Sindoro terletak di provinsi Jawa Tengah dengan ketinggian 3136 mdpl, tepatnya terletak di kabupaten Wonosobo. Gunung ini bersebelahan dengan Gunung Sumbing yang berada di sebelah tenggaranya. Dua buah gunung ini yaitu Sumbing dan Sindoro seperti gunung kembar jika di lihat dari kejauhan. Jalur pendakianya pun berdekatan yang terletak diantara dua gunung ini, yaitu desa Kledung untuk pendakian ke SIndoro dan desa Garung untuk pendakian ke Sumbing. Gunung Sindoro memiliki 2 jalur pendakian favorit, yaitu jalur Kledung dari Timur dan jalur Sigedang dari barat daya. Adapaun larangan untuk para pendaki pada hari pasaran jawa “Wage” dan hari Selasa pasaran “Kliwon”. Gunung ini terkenal dengan padang Edelweis yang sangat luas di atas puncaknya. Pada kesempatan kali ini saya kembali melakukan duet yang ke dua kalinya dengan teman setia saya yaitu Chimot. Pendakian duet pertama kami lakukan ketika mendaki Gunung Arjuno pada tahun 2006. Kali ini kami memilih untuk mendaki melalui jalur Segedang dan turun di desa Kledung. Pendakian ini juga merupakan perayaan ultah saya yang ke-26 yang jatuh pada tanggal 06 Juni 2009, dimana untuk yang ke-2 kalinya pula saya merayakan ultah di puncak gunung.
Perjalanan menuju Sigedang
Hari itu Jum’at malam tanggal 12 Juni 2009 saya bertolak dari Bekasi sedangkan Chimot dari rumahnya di kediri. Kami janjian bertemu di terminal bis Wonosobo sebelum jam 9 pagi. Sehabis pulang kerja saya berkemas2 sebentar dan sehabis sholat Isya’ saya berangkat dari kost menuju pangkalan Bus Sinar Jaya di Cibitung menggunakan Taksi dari Bekasi Barat. Sedangkan Chimot berangkat dari rumah ke Terminal kertosono untuk selanjutnya oper Bus Sumber Kencana jurusan Yogyakarta. Pukul 8 malam saya sampai di pangkalan bus Sinar Jaya, tanpa antrian saya langsung mendapatkan tiket bus kelas ekonomi jurusan Wonosobo seharga 60 ribu rupiah. Perjalanan malam kami lalui, kontak sms sepanjang perjalanan terus kami lakukan. Tak terasa pagi menjelang, kabut pagi menghalangi pandangan saya saat sampai di terminal bis Wonosobo. Sampai di terminal kurang lebih jam 7 pagi, segera saya mencari tempat untuk bersantai sambil menunggu sahabat saya yang masih dalam perjalanan dari Magelang ke Wonosobo. Setengah jam saya menunggu akhirnya sosok yang tidak asing lagi muncul di hadapan saya, tak salah lagi dia adalah sahabatku Chimot. Senang rasanya telah menemukan partner untuk berpetualang. Setelah membersihkan bdan dan berganti pakaian, kami segera menuju warung untuk mencari sarapan pagi. Sambil menyantap nikmatnya masakan sederhana warung di terminal, kami mencoba mencari informasi angkutan menuju desa Sigedang. Untuk menuju desa Sigedang, dari terminal wonosobo kami naik bus jurusan kota dan turun di pertigaan jalur menuju arah Dieng. Jam 9 kami mulai bertolah dari terminal menuju kota, selanjutnya turun di pertigaan seperti informasi yang di berikan kondektur bus yang kami tumpangi. Sampai di pertigaan, kami lanjutkan naik bus mini jurusan Dieng yang nantinya turun di desa Rejosari. Perjalanan dari Kota menuju desa Rejosari kami tempuh dalam waktu sekitar 1/2 jam. Sampai di desa Rejosari kami turun, rombongan tukan ojek langsung menyambut kedatangan kami. Mereka menawarkan harga yang cukup murah bagi kami, yaitu 5 ribu rupiah sampai Pos Pendakian desa Sigedang. Perjalanan menyusuri ladang jalan aspal yang rusak di tengah2 ladang penduduk kami lewati dalam waktu 1/4 jam. Sampai di Pos Pendakian kami berhenti sejenak, karena kami berniat langsung mendaki makan kami menambah ongkos seribu rupiah lagi untuk sampai titik awal pendakian. Akhirnya pendakian ilegalpun kami mulai dari sini (tanpa surat ijin pendakian :D). Kami berada di tengah2 kebun teh yang hijau. Stelah foto2 sejenak, kami memulai pendakian tepat pukul 10 pagi.
Kebun Teh
Titik awal pendakian kami terletak di tengah kebun teh yang luas. Perjalanan landai menelusuri bebatuan kami lalui selama 10 menit, setelah itu kami di hadapkan jalur tanah yang memotong hamparan kebun teh di sekeliling. Jalan bebatuan yang kami lewati cukup lebar, jalan ini memang sebenarnya di gunakan petani untuk memanen teh. Jalur ini cukup landai dan lebar untuk dilalui mobil pengangkut barang, bahkan truk pun bisa lewat disini. Jalur mobil ini berkelok-kelok, sehingga cukup jauh jika kita harus mengikutinya dengan jalan kaki. Di tengah2 kebun teh terdapat pos2 pendakian yang mungkin merupakan gubuk2 para petani teh disini. tak jarang kami melihat muda mudi yang sedang bercengkrama dan berpelukan di sepanjang perjalanan. Udara yang sejuk dan hamparan kebun teh yang hijau membuat suasananya menjadi romantis dan asyik untuk menguntai mimpi dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Pendaki harus berhati-hati melewati jalur di sepanjang kebun teh ini karena minim sekali tanda2 ataupun marka yang menunjukkan arah jalur pendakian. Tidak ada bedanya jalur pendakian dengan jalur petani teh. Untuk kami diselamatkan dengan pilok fospor yang sengaja di tinggalkan pendaki sebelum kami, mungkin masih baru mengingat warnanya masih cerah sekali. Setelah melakukan perjalanan selama 1,5 jam akhirnya kami sampai di batas kebun teh. Target kami selanjutnya adalah pos Watu Susu, dimana menurut informasi memerlukan waktu kurang lebih 3 jam dari batas kebun teh.
Watu Susu
Setelah lepas dari kebun teh, kami dihadapkan dengan padang rumput dan ilalang di sepanjang perjalanan menuju Watu Susu. Waktu itu kami tertolong dengan kabut tebal yang selalu mengiringi perjalanan kami dan menutupi kami dari teriknya sinar matahari. Sungguh jalur ini merupakan jalur terbuka sepanjang perjalanan. Jika cuaca cerah para pendaki harus siap2 terbakar oleh teriknya matahari dan dehidrasi sepanjang perjalanan. Tidak ada sumber air di sepanjang perjalanan dari bawah sampai puncak. Di musim hujan para pendaki bisa mengambil air di dalam kawah mati yang tergenangi air. Gunung yang benar2 gundul yang hanya ditumbuhi rerumptan dan padang ilalang. Trek yang kami lalui cukup terjal dengan sedikit bebatuan sampai ke batas vegetasi rumput. Watu susu di kenal sebagai payudara dari gunung Sindoro, dimana Sindoro digambarkan sebagi gunung perempuan. Perjalanan selama 4 jam telah kami lalui, tetapi kami tidak menemukan batu besar yang kami cari tersebut. Perjalanan akhirnya sampai di batas vegetasi rumput dan memasuki padang Edelweis. Kami istirahat sejenak disini sambil memandangi puncak yang tinggal sejengkal langkah lagi kami gapai. Setelah menikmati makan siang dan menunaikan sholat, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari sini kami di temani banyak pendaki yang datang mendahului kami. Perjalanan menuju puncak dari sini melewati jalur bebatuan besar dan terjal. Tak jarang kami berhenti untuk meluruskan kaki dan mengatur nafas kami yang mudah terenga karena faktor usia. Setelah 1 jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Puncak Sindoro yang ditandai dengan Tugu dari batu bata dan semen. Walaupun kelihatanya bukan merupakan tempat tertinggi dari gunung ini, tapi tugu tersebut merupakan pertanda puncak sindoro. Melangkah sedikit ke depan, kami dihadapkan hamparan tanah datar yang menyerupai lapangan bola. Memang di puncak Sindoro kita bisa bermain bola karena terdapat dataran yang benar2 luas dan datar. Lapangan inipun terdapat garis2 yang menandakan batas2 permainan sepakbola, mungkin memang dulu pernah ada pendaki yang bermain bola disini. Sindoro terkenal dengan Surganya Edelweis karena memang di sepanjang puncak terdapat banyak sekali pohon edelweis, sayang waktu belum banyak yang berbunga. Kami mencoba menengok sebentar bibir kawah Sindoro sebelum mencari tempat untuk mendirikan tenda. Di sebelah tenggara kami terlihat Gunung Sumbing yang sudak mengantuk dan berselimut kabut tebal. Baru kali ini kami bisa mencapai puncak gunung sebelum matahari tenggelam. Karena hari sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk mencari tempat mendirikan tenda di balik lindungan pohon Edelweis. Banyak para pendaki yang menginap di sini, bahkan banyak yang camping disini untuk beberapa hari. Udara dingin di puncak gunung cukup menusuk tulang, kamipun mencari ranting2 pohon dan kayu kering untuk membuat api unggun. Pesta perayaan ulang tahun sayapun di mulai setelah ami selesai memasak makan malam kami yang sangat sederhana, yaitu mie instant dan energen. Cuaca malam itu sangat cerah, sehingga kami bisa menikmatu gugusan galaksi Bima Sakti yang sangat luas dan indah itu. Serasa bintang di langit berada sangat dekat dengan kami, benar2 pemandangan yang menabjubkan. Lilin berpola angka 2 dan 6 pun segera saya sulut dengan api, sayapun merasa puas bisa menyelesaikan misi ini. Karena sudah malam dan udara malam semakin dingin, kami memutuskan untuk segera tidur.
Indahnya Sunrise
Tenda yang seharusnya berisi 4 orang kami tempati untuk 2 orang saja yang membuat kami leluasa tidur malam itu. Baru kali ini kami merasakan leganya tidur di dalam tenda, pendakian sebelumnya selalu memaksa kami tidur umpek2an dalam satu tenda. Jam 5 pagi alarm berbunyi, saatnya untuk bangun dan menyambut Sunrise di ufuk timur. Kami bangun tanpa harus bersusah payah merapikan tenda dan mengemasi barang kami seperti pendakian2 sebelumnya. Kami cukup mengambil kamera dan menutup tenda untuk emudian jalan2 di sepanjang puncak untuk mencari spot Sunrise terbaik. Hamparan cakrawala telah menjingga di ufuk timur yang memotong gunung2 yang berada di depan kami. Gunung Sumbing, Merapi, Merbabu dan juga Lawu terlihat jelas di depan kami. Pemandangan sangat indah ketika Sunrise mulai mengintip dari balik Cakrawala. Hmm…..saatnya berfoto2 dan bergaya sebagus mungkin. Setelah puas berfoto2 dengan Sunrise, kami sejenak menikmati hangatnya sinar matahari sambil menyusuri bibir kawah. Kamipun menemukan jalan turun menuju kawah mati, tak puas hanya melihat dari atas kami segera turun dan berfoto2 di bawah. Banyak sekali prasasti2 dari bebatuan yang bertuliskan nama2 seseorang ataupun organisasi yang ditinggalkan oleh para pendaki disini. Dalam kawahnya kurang lebih sama dengan kawah Sumbing, tetapi memiliki diameter yang lebih pendek. Setelah selesai mengunjungi kawah mati, kami meneruskan perjalanan mengelilingi puncak. Di sebelah utara kami lihat hamparan pegunungan Dieng yang terkenal itu. Pemandangan disini sangat indah dengan bukit Dieng yang menghijau di bawah kita. Akhirnya usai sudah kami mengitari puncak Sindoro ini, kami kembali ke tenda dan mulai berkemas untuk turun.
Turun ke Jalur Kledung
Setelah merapikan tenda dan berkemas2, jam setengah 9 pagi kami mulai melakukan perjalanan turun melalui Jalur Kledung. Jalur Kledung berada di sebelah timur puncak Sindoro. Jalurnya cukup jelas dan banyak terdapat petunjuk2 pendakian, tidak seperti jalur Sigedang yang sangat minim petunjuknya. Jalur ini sama terjalnya dengan jalur Sigedang. Selama 2 setengah jam perjalanan turun kami melewati padang ilalang sampai menemukan batas vegetasi hutan pinus. Perjalanan melewati padang ilalang sangat menguras keringat karena terik matahari yang terus menyengat di sepanjang perjalanan. Setelah mencapai batas vegetasi padang ilalang, kita akan melalui hutan pinus yang lumayan teduh. Perjalanan turun sekitar 1 jam kamitempuh melewati hutan pinus sampai akhirnya sampai di batas ladang penduduk. Akhirnya kami sampai di ladang penduduk, dan beruntung sekali kami di sambut oleh petani yang menawarkan jasa ojek sampai Pos. Tak berfikir panjang kami langsung menerima tawaran itu, satu motor untuk 3 orang hanya 10 ribu rupiah. Lumayan daripada harus jalan kaki yang memerlukan waktu kurang lebih satu jam. Jam setengah 1 siang kami sampai di Pos pendakian. Karena ramai pendaki, kami tidak sempat membersihkan badan disini sehingga kami memutuskan untuk membersihkan badan di Masjid terdekat tanpa berganti pakaian. Setelah selesai, kami mencari warung terdekat di sepanjang jalan raya. Berburu makanan setelah mendaki gunung adalah Wajib bagi kami. Makanan pasca pendakian adalah yang ternikmat setelah masakan ibu kami di kampung. Setelah 2ratus meter berjalan, akhirnya kami menemukan Warung Sederhana “SUSI”, masakan jawa khas pegunungan benar2 nikmat. Kami bersantai sejenak sehabis makan sambil membicarakan pendakian berikutnya. Jam 2 siang akhirnya saya dan Chimot harus berpisah disini. Saya mengambil arah wonosobo, sedangkan chimot mengambil arah magelang. Selamat jalan wahai sahabat, senang bisa mendaki bersama dalam keceriaan tanpa batas. Sampai bertemu lagi di pendakian selanjutnya Gunung Lawu.
Insya Allah tanggal 13 maret 2010 aku bersama temenku rencana akan ke sindoro melalui segedang..infonya sangat bermanfaat…
Selamat mendaki mas….salam buat gunung Sindoro 😀
Waaaaa . . . Itu impianku bs brd d’ladang edelweis. Dr dlu mas nyari tw tmpt yg edelweis smw dmn..sindoro to.
he_
pzt bgs ea.
Hoaaaa.
Pengeeeen!
Trak na gmn mas?!
Traknya menanjak terus dari awal hingga akhir……tapi menyenangkan
selamat mendaki,
hahay…. sudah nggak sabar pingin icip-icip… 😀