ROUND TRIP MADURA SERIES | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
Sesuai agenda semula. Hari sabtu tanggal 15 Agustus kita berangkat untuk memulai tur mengitari pulau Madura.
Etape 1 : Mojoarum – Suramadu. 14 km
Rencana awal kami (chimot dan mantos) berangkat pukul setengah 6 pagi. Tapi karena bakat bangun pagi yang susah Mantos, ditambah malamnya kami cangkrukan di warung pecel Pucang hingga pukul 11 malam, jadilah keberangkatan kami kali ini molor. Kami baru bertolak dari rumah saya di Mojoarum pukul 7 pagi. Walaupun matahari sudah cukup tinggi, namun jalanan cukup lengang, hanya diramaikan oleh orang-orang yang sedang jogging pagi saja. Suasana gerbang tol jembatan Suramadu pun bisa dibilang sepi. Tidak ada antrian sama sekali. Bertolak belakang dengan keadaan hingga satu bulan pasca pembukaan yang antriannya hingga mencapai 3 km.
Setelah membayar Rp.3.000, tarif yang dikenakan kepada pengendara sepeda motor (Rp.30.000 untuk kendaraan roda empat atau lebih), kami pun melenggang melintasi jembatan terpanjang di Indonesia ini sepanjang 5,4 km. Jembatan yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau terbesar di propinsi Jawa Timur ini. Angin berhembus cukup kencang, terutama dibagian main gate dari jembatan Suramadu ini. Pantas saja ada rambu-rambu yang menunjukkan kecepatan minimal diharuskan adalah 60 km/jam dibagian ini untuk pengendara sepeda motor. Dengan tujuan agar pengendara sepeda motor tidak terbawa oleh derasnya tiupan angin. Kami membutuhkan waktu sekitar 15 menit melintasi jembatan ini, dengan kecepatan yang santai, sambil menikmati suasana pagi diatas jembatan yang cukup nyaman.
Etape 2 : Suramadu – Sampang. 74 km
Selepas Suramadu kami dihadapkan lintasan panjang berujung bertemu dengan jalanan utama Bangkalan – Sampang. Lintasan panjang lebih dari 10 km ini jalan baru proyek jembatan Suramadu, sehingga belum ada kehidupan disekitarnya. Hanya ada beberapa penjual bensin eceran dan tukang tambal ban sekitar 1 km sekali. Selepas kami bertemu jalanan utama Bangkalan – Sampang misi berikutnya adalah mencari pom bensin. Karena jarum penunjuk level tangki sepeda motor saya sudah hampir berdamai dengan huruf E. Ketakutan kami adalah isu bahwa di Madura jarang sekali ada pom bensin, membuat kami sudah ingin mengisi ditempat penjual bensin eceran. Namun kami tahan dulu hingga ambang batas minimum. Dan memang, dari hasil kami selama mengelilingi madura ini, pom bensin hanya ada rata-rata setiap 10 km sekali. Itu rata-rata. Kadang 3 km sudah ada. Tapi tidak jarang 15 km baru ada. Tapi jangan salah orang penjual bensin eceran ada dimana-mana. Jangan khawatir. Pintar-pintar saja memilih penjual jika memang khawatir bensin yang dijual tidak murni.
Bisa dibilang perjalanan menuju Sampang ini lengang, cenderung monoton. Karena mungkin saya pribadi terbiasa dengan suasana jalan yang ramai ketika berkendara di Jawa. Disini lalu lalang orang sedikit sekali. Dan kondisi rumah-rumah disekitar jalan raya juga sepi kalau tidak ingin dibilang serasa tak berpenghuni. Namun tepatnya di kecamatan Galis, tiba-tiba saja jalanan menjadi macet, padat tak bergerak. Rupanya didepan sana ada pasar hewan. Dan berpuluh-puluh kendaran penganggut sapi hadir disana. Benar-benar ramai suasanananya. Ada yang sibuk memarkir kendaraaanya. Ada yang sibuk menurunkan sapi-sapinya. Bahkan sapi-sapipun bersliweran dijalan raya, dengan pemiliknya tentunya. Selepas melewati pasar hewan ini, perjalanan pun relatif sepi kembali hingga sampai di Sampang.
Etape 3 : Sampang – Pamekasan. 36 km
Sampang, salah satu dari 4 kota besar di Madura adalah kota yang tidak terlalu besar dan ramai untuk ukuran Jawa dimata kami. Sesampainya di Sampang kami langsung mencari warung makan, karena tangki bahan bakar perut kami juga sudah empty. Pilihan kami jatuh kepada warung sate, masakan khas Madura. Harga murah meriah. Satu porsi, terdiri dari sate ayam 10 tusuk dengan nasi putih dikenakan tarif Rp.8.000.
Setelah tangki perut kami kembali full perjalanan kami lanjutkan menuju kota Pamekasan. Dengan sebelumnya kami berencana mampir terlebih dahulu di Pantai Camplong. Salah satu obyek wisata andalan kabupaten Sampang. Keindahan dari pantai yang satu ini adalah lautnya yang tenang dengan warna yang hijau bak jamrud. Sehingga tampak menawan mata, sedikit mengurangi keindahannya. Cobaan sempat hinggap karena ban belakang sepeda motor saya bocor. Seperti ketakutan kami sebelumnya, ban belakang sepeda motor saya yang gundul benar-benar sensitif terhadap benda-benda kecil yang tajam. Dengan menuntun kurang lebih 1 km membuat nasi sate kami terbuang jadi keringat. Perjalanan pun kami lanjutkan setelah itu. Menyisir pantai selatan pulau Madura, yang memiliki laut sangat hijau. Namun kemonotonan kembali menghinggapi perjalanan kami. Jalur yang sepi dan serasa kering (seperti perjalanan ke gresik) membuat Mantos yang berada dibelakang sudah manggut-manggut menabrak helm saya karena mulai kehilangan kesadaran alias mengantuk.
Menjelang memasuki kota Pamekasan jalan padat tak bergerak kembali. Kami menduga ada pasar hewan lagi. Ternyata bukan. Didepan ada pawai arak-arakan menyambut 17 Agustusan. Kami pun memutuskan untuk mencari jalur alternatif.
Etape 4 : Pamekasan – Sumenep. 58 km
Di Pamekasan kami tidak mampir kemana-mana. Rencana awal kami ingin melihat api abadi Dhangka. Namun karena harus berkejar-kejaran dengan waktu sehingga diputuskan untuk dilewati saja. Ditambah lagi juga karena siang-siang panas, kurang nikmat jika masih harus ditambah dengan menikmati api. Sempat berhenti didepan masjid agung Pamekasan, tapi karena waktu dzuhur masih 20 menit lagi, sehingga kami putuskan perjalanan kami lanjutkan saja.
Perjalanan menuju Sumenep ini melintasi hutan dan naik turun bukit. Semacam alas Roban. Hingga menjelang 10 km terakhir memasuki Sumenep suasana berubah dari menembus hutan menjadi menyisir areal tambak. Suasana benar-benar sangat indah. Seperti jalan yang serasa menembus lautan, dengan pinggir-pinggir jalan banyak pohon-pohon besar menaungi. Kami tergoda untuk berhenti sejenak menikmati suasana ini. Ditambah lagi aliran darah dipantat kami benar-benar sudah berhenti, yang membuat rasanya panas sekali karena otot-otot pantat berontak minta untuk disupply oksigen. Dan ini menjadi alasan yang tepat untuk berhenti sebagai suatu keharusan. Setelah puas menikmati suasana dan beristirahat sejenak, kamipun melanjutkan perjalanan yang tinggal 6 km menuju kota Sumenep.
Etape 5 : Sumenep – Bangkalan. 161 km
Sumenep, kota inilah tujuan utama kami. Banyak sekali obyek wisata andalan pulau Madura yang berada di kabupaten ini. Selain itu kota Sumenep merupakan kota yang sangat bersejarah bagi warga Madura. Dikota ini kami singgah di Masjid Agung Sumenep untuk menunaikan kewajiban sholat Dzuhur sekaligus untuk rehat sejenak meluruskan tulang punggung yang sudah bengkok tidak karuan, kemudian dilanjutkan ke keraton Sumenep, dan terakhir ke makan para raja-raja Sumenep, Asta Tinggi. Karena waktu sudah semakin sore dan kami harus menempuh perjalanan pulang yang sangat-sangat panjang, maka kamipun bertolak melakukan perjalanan pulang. Sempat terbersit keinginan untuk mengunjungi pantai Lombang, pantai yang kabarnya sangat indah terkenal hingga mancanegara, obyek andalan kota Sumenep. Namun mengingat letaknya masih 30 km sebelah timur laur kota Sumenep dan ditambah lagi itu berlawanan dengan jalur pulang kami, maka kami putuskan untuk tidak usah kesana. Cukuplah diwakili oleh pantai Slopeng, pantai tandingan, yang akan kami lewati dalam perjalanan pulang kami. Eksotisme dari pantai Slopeng ini menjadi suntikan energi baru bagi urat-urat ditubuh kami yang sudah mencapai kelelahan.
Perjalanan pulang kami ini menyusuri pantai utara dari pulau madura, yang pemandangan indahnya membuat mata kami terjaga untuk tetap segar. Ini adalah etape terpanjang dari perjalanan ini. Dipesisir utara pulau Madura ini tidak ada kota-kota besar seperti halnya Sampang, Pamekasan dan Sumenep, namun jangan salah, kota-kota kecilnya ini sangat ramai, paling tidak ketika adanya acara pawai 17 Agustus ini. Ditiap kota kecamatan ada lomba gerak jalan. Juga pawai kendaraan hias. Dan beberapa kali kami harus terjebak kemacetan karenanya. Putar sana putar sini tetap efeknya sama saja. Tetap menemui keramaian. Mulai dari Ambunten, Pasongsongan, hingga Sokabana kami harus bersabar menghadapi kemacetan. Di kota kecamatan Ketapang sudah tidak terjebak lagi, karena hari sudah menjelang maghrib, namun bekas dari keramaian masih ada disana.
Gelap pun tiba. Dan ini menjadi siksaan baru. Karena lampu sepeda motor saya sudah sangat redup, dimana lampu dekatnya sudah mati, tersisa lampu jauh dan itu sangat mendongak, sedikit sekali membantu penglihatan malam. Kami mengandalkan bantuan dari kendaraan lain yang lewat. Ada mobil lewat kami membuntuti dibelakangnya. Tapi karena kendaraan tersebut melaju dengan kecepatan yang kencang, sayapun juga harus menggeber gas sekencang-kencangnya agar tidak ketinggalan. Aneh juga. Disiang hari saya maksimal hanya 70 km/jm. Namun dimalam hari dengan keadaan hampir buta ini saya malah ngebut tidak karuan. Hampir 100 km/jam. Shogun saya rasanya sudah meronta-ronta tidak tahan. Namun karena mobil-mobil tersebut lebih sering tidak terkejarnya, maka ketika sudah tidak terkejar lagi kami pun berjalan pelan-pelan lagi menunggu mobil berikutnya. Disaat seperti itu kami hanya lebih banyak mengandalkan insting daripada mata. Tidak ada lampu jalan, lampu sepeda motor yang tinggal setengah watt, tidak adanya kehidupan dipinggir-pinggir jalan, membuat suasana hampir gelap total. Pernah kami hampir jalan terus padahal jalanan menikung. Dan itu terjadi berulang kali. Pada saat kami kebut-kebutan membuntuti mobil didepan kami, satu yang kami kagumi, jalan aspalnya benar-benar mulus. Hampir tidak ada cacat sedikitpun. Membuat acara kebut-kebutan kami ini tetap lancer. Kami tidak perlu terjerumus kedalam lobang jalan raya yang tidak kami lihat. Acara gelap-gelapan ini berakhir ketika kami memasuki Bangkalan. Denyut kehidupan mulai terasa keras. Dan itu berarti penerangan yang cukup.
Etape 6 : Bangkalan – Mojoarum. 36 km
Di Bangkalan kami cuma lewat saja. Selain tidak ada hal yang ingin kami singgahi disana, hari juga sudah malam, fisik sudah sangat lemah, perut juga sudah demo minta di isi. Tepat dipersimpangan menuju jembatan Suramadu, tempat dimana kami pagi tadi berangkat dari titik ini menuju kearah timur, dan kami sekarang kembali dari arah barat, ada keharuan tersendiri. Kami benar-benar sudah satu putaran penuh. Saatnya untuk pulang.
Sebelum pulang ke rumah saya di Mojoarum, kami isi perut dulu di warung bebek super depan tugu pahlawan untuk merayakan perjalanan kami kali ini. Warung adalan saya kalau lagi minta traktir Mantos ketika mampir ke Surabaya (tuan rumah yang minta traktir). Wajah yang seperti topeng karena debu jalanan yang menempel, bau badan yang tidak karuan, tidak kami pedulikan ketika mengantri dengan puluhan orang lainnya, karena demonstrasi diperut semakin menjadi-jadi. Dan benar, rasa bebeknya yang biasanya saja sudah sangat nikmat, kali ini terasa 2x lebih nikmat. Tiba dirumah, langsung ambil posisi tengkurap semua. Meluruskan tulang punggung biasanya dengan cara tidur terlentang, tapi kali ini tidak bisa. Karena pantat sudah emosi. Tidak bisa diajak untuk bersentuhan dengan apapun. Mereka benar-benar berontak meminta kebebasan. Dengan semakin terbangnya kami kealam mimpi, maka perjalanan kami mengitari pulau Madura sepanjang 376 km selama 13 jam pun berakhir.
great trip, brother..