Karimun Jawa book 1: The Journey


Erugren’s Journal, 25th June 2010. I had been thinking about journey to this place alone, but never been realized. Eventually Mantos ask me to join him to this place. What a fortune. But I must go alone and then meet the other at the port of Jepara.


Hari ini tanggal 25 Juni 2010 saatnya berangkat menuju Surabaya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Jepara. Di sana aku akan bertemu Mantos dan teman-teman barunya yang berangkat dari Jakarta. Waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB, aku bangun dari tempat tidur dan segera bersiap-siap ke Terminal Tawang Alun Jember.

Tiba di Terminal pukul 09.20 WIB, suasana tidak terlalu ramai. Aku memasuki terminal, dan seperti biasa ada beberapa orang yang mencari penumpang menanyakan tujuanku, “Mau kemana Mas?”, Tanyanya. “Surabaya”, Jawabku. “Oh Surabaya, tunggu di luar saja Mas”, balasnya. Mengapa harus tunggu di luar? Jawabannya baru aku temukan saat berada di Terminal Bungurasih. Aku terus melangkah menuju peron. Di depannya ada dua orang pengemis, satu orang muda yang cacat, dan satu orang nenek tua. Aku membayar dengan uang Rp.1000,- dan diberi 1 karcis dan Rp.500,- sebagai kembalian, padahal peronnya Rp.200,- (Apakah ini disebut korupsi tingkat ringan sekali?). Kali ini kuberikan kembalian Rp.500,- itu pada pengemis muda yang cacat, dimana pada waktu berikutnya aku berikan pada si nenek. Kemudian aku memberikan karcis pada si penjaga dan segera kulihat ada beberapa jalur di sana dan pada tiap jalur itu terdapat bis. Pada masing-masing jalur terdapat papan bertuliskan kota tujuan masing-masing bis. Dengan mudah kudapati bis Patas Jurusan Surabaya. TJIPTO itulah yang tertulis pada badan bis. Hanya terdapat beberapa penumpang dalam bis. Kududuk di lajur kiri paling belakang.  Beberapa menit kemudian Bis berangkat.

Tak ada yang spesial dalam perjalanan dari Jember ke Surabaya. Di terminal bungurasih waktu menunjukkan pukul 14.30. Perut keroncongan karena belum makan dari pagi, sehingga kuputuskan pergi warung dulu. Semangkok Soto dan segelah Es Teh sungguh nikmat.

Aku telepon beberapa teman di Surabaya untuk menumpang dan kemudian malamnya baru berangkat ke Jepara. Sialnya semua tidak ada di tempat. Maka plan B pun dijalankan, berangkat sekarang, mencari penginapan di Jepara, dan mencari patung penyu raksasa yang kulihat di internet.

Waktu berjalan ke peron, seseorang yang kemudian aku ketahui sebagai calo mendekat dan menanyakan tujuan. “Jepara”, sahutku. “Ada mas, tujuan akhirnya Semarang” katanya. Kemudian setelah membayar peron dia mengajakku ke bis.  Dengan gaya gombalnya dia bercerita bahwa bisnya bagus, tempat duduk sofa, ada AC, dan toilet. Ternyata bis nya biasa saja, meski memang ada toliet dan AC. Di dalam bis kulihat sebagian besar penumpangnya tidak berasal dari Jawa, aku mulai curiga. Tapi karena ada mas penumpang yang kutanyai apakah bis ini ke semarang, dia jawab “ya”, aku putuskan untuk naik bis ini. Setelah duduk orang yang mengantarku tadi minta ongkosnya dibayar sekarang, Rp. 160.000,- dan karena kebodohankku aku setuju saja. Belum lagi dia minta uang rokok Rp.10.000,-. Itulah kekejaman calo, aku baru teringat kata-kata di terminal Tawang Alun, “Tunggu di luar saja”. Ya benar karena di lewat pintu keluar bis tak perlu bayar peron dan tak ada calo, kita langsung mendengan para kondektur berteriak-teriak kota tujuan bisnya. Jika ingin memilih tempat duduk, maka masuklah ke terminal lewat pintu keluar bis.

Selama perjalanan AC tidak terlalu dingin, Mas penumpang sebelahku malah  merasa kepanasan. Beberapa jam kemudian tibalah di sebuah restoran di Tuban. Saat turun dari bis, kondektur menanyakan tujuanku, “Jepara” jawabku. Setelah aku lewat, kulihat dia membagikan kartu makan pada penumpang di belakangku. Akupun bertanya,” Pak tiket saya mana?” kutunjukkan tiket bis kepadanya. Dengan enggan dia memberikan kartu makan. Keberhasilanku mendapatkan kartu makan menjadi inspirasi kepada beberapa penumpang di depanku yang tidak mendapatkan kartu makan, termasuk mas penumpang di sebelahku. (Apakah ini juga termasuk rencana tindakan korupsi ringan yang gagal?). Setelah makan, perjalanan pun dilanjutkan. Dengan menahan kantuk ku perhatikan kota-kota yang sudah dilewati dan tak ada Jepara. Sial aku tertipu, terpaksa aku mencari bis ke Jepara di Semarang nanti pikirku. Aku pun tertidur.

PEKALONGAN itulah tulisan yang kulihat saat ku bangun. Dengan proses loading setelah bangun tidur aku berusaha berpikir dimana itu pekalongan. Sial, bis ini tidak berhenti di Semarang, dan Semarang bukan tujuan akhirnya. Waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari, jalanan begitu sepi.  Kutanyakan pada kondektur apakah terminal berikutnya. “Tegal”, jawabnya.  Beberapa saat kemudian bis sudah memasuki Tegal. Aku lihat ada kemacetan di arah berlawanan, sepertinya karena perbaikan jalan.  Setelah kebingungan beberapa saat, aku menghubungi Mantos. Ternyata dia juga di Tegal dan sedang macet. Berarti kita sudah saling berpapasan. “Tegal, Terminal” Si kondektur berteriak. Aku langsung bangkit berdiri dan segera menuju ke depan. Kaki-kaki para penumpang di depanku bersilangan antara bangku kanan dan kiri, ketika aku berusaha melewati salah satunya, saat itu bis mengerem, sehingga aku terjungkal ke depan. Aku tak menoleh ke belakang dan terus melanjutkan langkahku.

Turun dari bis aku beli secangkir energen jahe. Aku tanya ke penjualnya, apakah ada jurusan Jepara. “yang langsung ga ada Mas, harus ke semarang dulu katanya.” Kemudian dia memanggil seorang bapak-bapak dan berbicara dalam bahasa Jawa. Kemudian bapak itu berkata, “Mau ke Semarang Mas, ayo saya bantu nyegat bis di depan”. Kami pun ke depan terminal. Di depan terminal setiap bis yang lewat dipungut biaya oleh dua orang yang aku kira dari dinas perhubungan atau semacamnya. Satu demi satu bis lewat tapi tak ada yang mau berhenti. Setelah waktu menunjukkan pukul 3.30 akhirnya si bapak berhasil menghentikan sebuah bis. Melihat bis ini teringat film Punk In Love, ada 5 sepeda motor dalam bis bagian belakang, dan beberapa karung barang. Dibagian tengah disediakan kursi plastik seperti di warung. Aku pun meluncur ke semarang.

Seharusnya kami harus sampai di Jepara sebelum jam 7 pagi, namun tampaknya tak mungkin bagiku. Demikian juga dengan Mantos, pukul 6 dia masih di semarang. Aku bertanya pada Mantos, apakah misi kali ini akan gagal? Dia menjawab nikmati saja perjalanan dan lihat saja nanti. Dia juga memberi info bahwa ada kapal kartini dari Semarang ke Karimun Jawa pukul 9 pagi dan menyarankan saya naik itu saja. Perlu diketahui KMC Kartini hanya berangkat dari Semarang dan merupakan Kapal Motor Cepat, sedangkan kapal yang berangkat dari Jepara adalah KM Muria yang merupakan kapal ferry. Pukul 07.30 bis tiba di kendal dan kemudian berbelok ke arah restoran. “Istirahat”, teriak kondektur. Waduh, mengapa disaat terburu-buru harus istirahat. Kulihat ada beberapa penumpang yang tampaknya juga terburu-buru. Dia menurunkan barangnya dan kemudian naik angkutan umum berupa elf yang lewat. Aku tanya pada tukang parkir di sana kemana arah angkutan itu. Setelah mengetahui arahnya ke Semarang, aku minta bantuannya untuk memanggil atau menghentikan salah satunya. Sekitar 40 menit kemudian sampailah di semarang, tetapi angkutannya tidak ke terminal melainkan berhenti di bundaran. Itulah tujuan akhirnya kata kernetnya. Untunglah ada taxi yang ngetem dekat sana. Tanpa pikir panjang aku pun naik. “Pelabuhan Tanjung Mas, Pak” kataku. Kulihat di dompetku tersisa Rp 50.000,-, semoga ongkosnya tidak lebih harapku. Sesampainya di pelabuhan ongkosnya sekitar Rp 20.0000,-. Aku turun di area parkiran, begitulah tempat itu terlihat. Aku bertanya kepada beberapa orang yang berada di sana dimana kapal menuju Karimun Jawa. “Oh mau ke Karimun Jawa toh Mas, di sana mas masih jauh”. Waduh, seharusnya aku bertanya dulu tadi sebelum taxinya pergi. “Saya bisa antar Mas, Rp. 5000 saja” kata seorang bapak. Wow kebetulah sekali. Aku teringat hanya tersisa Rp. 30.000,- an di dompetku.”Pak ada ATM ga di dekat sini?” tanyaku. “Ada Mas dekat sini” jawabnya. Ternyata tiap masalah ada jawabannya. 200 m dari ATM, di sanalah terlihat KMC Kartini bersandar. Tempat itu sudah ramai dengan beberapa orang. Ku lihat ada meja di sana dan seseorang berpakaian seragam disana. Dia lah yang menjual tiket. Aku menuju ke meja itu dan bertanya, “Pak masih ada tiketnya?”. “Sudah habis mas.” Jawabnya. Mendengarnya seperti langit runtuh. “Masa ga ada lagi pak? Satu saja” tanyaku. “Tunggu aja mas”, katanya. Dia beranjak dari kursinya dan menuju ke teman-temannya yang memeriksa tiket penumpang di pintu masuk kapal. Kemudiant terlihat seseorang ibu-ibu menghampiri dan berbincang dengan mereka. Kemudian Bapak tadi memanggilku,”Ini mas ada satu, orangnya ga jadi berangkat”. “Berapa pak?” tanyaku. “130 ribu” kata ibu-ibu disebelahnya. “Pulangnya kapan mas?”. “Selasa.  “Oh naik Muria ya?”. “Ya bu”. Aku pun naik ke kapal. Dengan perasaan lega dan badan letih aku tertidur di kursi.

Akhirnya setelah sekitar 4,5 jam aku tiba di Karimun Jawa.  Tempat yang kucari pertama adalah kamar mandi, karena muka rasanya penuh kotoran, ingin cuci muka. Maka aku beli sebotol Aqua untuk cuci muka dan minum. Tempe yang baru di goreng menggodaku, aku pun tak tahan. Sambil menunggu Mantos–yang juga beruntung kapal dari Jepara berangkat jam 9 bukan jam 7, aku duduk di warung itu. Pukul 3 Kapal Muria tiba, Mantos pun mendatangiku dan mengenalkan teman-temannya: Nova, Andreas, Andre, Yenny, bu Har, Dewi, Nanette, tyas, dan Hevy.

Book 1 End

4 thoughts on “Karimun Jawa book 1: The Journey

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s