MALARI


MalariMalapetaka Lima Belas Januari

Perilaku pengusaha Jepang yang cenderung memilih jalan pintas dalam meraih laba dan keengganan berbaur dengan pengusaha pribumi memunculkan ketidakpuasan hampir semua negara Asia Tenggara atas dominasi Jepang dalam berinvestasi di Asia Tenggara. Di Bangkok, akhir 1972, gerakan Mahasiswa telah menjatuhkan Perdana Menteri Thanom Kittikachorn dan meminta pemodal Jepang hengkang. Di Indonesia, gerakan itu seperti penyulut ledakan para mahasiswa untuk menendang “ Saudara Tua “ pada kunjungan Perdana Menteri Tanaka di awal 1974. Gemuruh demonstrasi menjelma menjadi kerusuhan besar yang mengguncang Jakarta. Inilah rusuh pertama di era kepemimpinan Soeharto

Sebelum penolakan terhadap pemodal Jepang, stabilitas Indonesia sudah sudah terguncang oleh dua isu. Dua isu tersebut adalah Rencana Pembangunan TMII dan RUU Perkawinan. Dua isu tersebut disinyalir tidak lepas dari peran Ibu Negara, Ibu Tien yang ingin membangun proyek “mercu suar “ dan juga sikap anti poligami. Untuk sebuah negara yang baru siuman dari tragedy besar, kondisi perekonomian sulit dan inflasi yang membumbung, mengalokasikan dana negara hanya untuk taman hiburan dinilai tidak masuk akal bagi beberapa kalangan intelektual. Sedangkan RUU Perkawinan yang menganggap pernikahan bisa dikatakan sah meski tanpa kehadiran wali mempelai perempuan dan cenderung mempersulit poligami mencuatkan nyaringnya protes para pemuka agama. Karena dua masalah inilah kelompok akademikus, aktivis dan kaum ulama bersatu dalam satu garis oposisi, bersama – sama mengkritik kinerja pemerintah.

Selain masalah dua isu tersebut, meski terlihat sehat, perekonomian saat itu sangat rentan karena hanya ditopang kedekatan pejabat pemerintah dengan segelintir konglomerat. Pembangunan pun sangat tergantung dengan pada modal asing dan dukungan militer yang konfrontatif terhadap warga sipil. Hal inilah yang membuat Mahasiswa meminta pemerintah merevisi strategi pembangunan. Kekacauan ekonomi juga disebabkan perseteruan antara Teknokrat Berkeley di Bapenas dan Asisten Pribadi  Presiden ( Mayjend Ali Moertopo dan Mayjend Soedjono) dalam menentukan arah ekonomi juga menjadi penyebab panasnya politik Jakarta. Merekalah yang menyarankan pemerintah untuk membuka pintu untuk penanaman modal asing untuk memutar roda ekonomi negara. Soedjono dianggap dekat dengan pemerintah Jepang dan karena dialah PLTA Asahan Sumatera Utara berdiri. Keberhasilan Soedjono inilah yang memperkeruh hubungan Bappenas dan Tim Asisten Pribadi. Menanggapi masalah itu Soeharto mengundang kedua kubu di Tapos untuk berdialog untuk kompak menghadapi tantangan Orde Baru, namun tidak berhasil.

11 Januari 1974, Soeharto berdialog dengan para perwakilan Mahasiswa di Bina Graha. Dalam forum itu Hariman Siregar mempertanyakan peran Ali Moertopo dan Soedjono. Di luar dugaan Soeharto malah pasang badan untuk Asprinya. Menjelang akhir forum mahasiswa menyampaikan Titura 1974, yang berisi :

  1. Bubarkan Asisten Pribadi Presiden
  2. Turunkan Harga
  3. Berantas korupsi.

Ketidakpuasan mahasiswa terhadap sikap presiden ditunjukkan dengan demonstrasi dengan pembakaran patung kertas Soedjono. Mereka yakin bahwasanya Ali Moertopo adalah calo politik sedangkan Soedjono sebagai calo Jepang. Aksi ini semakin meningkat menjelang kunjungan Tanaka ke Jakarta.

14 Januari 1974, Tanaka tiba di Jakarta lewat bandara Halim. Begitu turun dari pesawat, mahasiswa yang lolos dari pengamanan membentangkan poster “ Tanaka Out “. Malam harinya, para mahasiswa berkonsolidasi terakhir untuk demonstrasi esok pagi.

Selasa, 15 Januari 1974, konvoi jalan kaki menuju Merdeka Timur. Konvoi demontrasi berhenti di depan balai kota untuk mengumpulkan massa. Konvoi dilanjutkan menuju grogol untuk melakukan apel di kampus Trisakti. Demonstrsi pun bubar pada siang hari dengan damai.

Tiba – tiba beredar kabar adanya pembakaran dan tembakan dimana – mana. Soemitro menyebutkan sekelompok massa suruhan Opsusu pimpinan Ali Moertopo bergerak ke arah Pasar Senen. Sedangkan Ali menyebut mereka adalah masa yang digerakkan oleh oknum ex-Partai Sosialis Indonesia dan ex-Masyumi.

Meledaklah huru – hara di kawsan Senen. Kerusuhan melebar hingga ke kawsan kota. Api berkobar hingga tengah malam, membakar 144 gedung, 807 mobil dan 197 sepeda motor. Sebelas orang tewas, 17 luka berat dan 120 luka ringan.

Saat itu tentara tidak siap menghadapai huru hara tersebut. Komunikasi antara perwira di lapangan kacau. Koordinasi para petinggi ABRI sangat lemah. Semua bekerja sendiri – sendiri tanpa sepengetahuan Pangkomkamtib Soemitro.Bagi Soeharto , Soemitro tidak becus menangani ibu kota dan dua hari kemudian dia dicopot dari jabatan. Selain itu ia juga membubarkan asisten pribadi, Ali Moertopo.

Soemitro

Pangkomkamtib, Jendral Soemitro

MALARI tidak lepas dari kemelut perseteruan para jendral di sekitar presiden, Ali Moertopo, Soedjono dan Soemitro. Dimana mereka diisukan berambisi mengganti Soeharto.

Buntut dari Malari ini Satgas Intel yang dikomandani L.B. Moerdani menangkap 775 orang dimana sebagian besar tidak berhubungan dengan Malari. Mereka yang giat memprotes pemerintah sejak 1970 hingga 1974 juga di jarring. Partai Sosial Indonesia, Kelompok pendukung Soekarno juga di babat. Tak terkecuali pendukung Soeharto di tahun 1966 yang sudah berseberangan dengan pemerintah. Selain itu juga dilakukan pembredelan media cetak yang dianggap terkait dengan Malari

“ Selama berfungsi sebagai pisau dapur tetap dipakai,. Tapi kalau digunakan untuk membunuh dibuang saja “ kata Mashuri, Menteri Penerangan.

 Peristiwa Malari menjadi momentum bagi Soeharto menyingkirkan lawan – lawan politiknya.

* Dirangkum dari TEMPO

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s