Aku terbangun dari tidur (ga ) lelapku ketika Terios kami berhenti di depan masjid. Uda sengaja minta berhenti untuk sholat Subuh. Gerimis masih mengiringi perjalanan kami. Kata Pak Djum, kurang dari satu jam kami akan sampai di Toraja.
45 menit selepas dari Masjid kami sampai di Toraja. Tujuan kami yang pertama adalah Batu Tomonga. Tapi sebelum menuju ke sana kami memilih sarapan dulu di Rantepao. Kami lebih selektif dalam memilih tempat makan, secara mayoritas masyarakat Toraja Bergama Kristen protestan. Pilihan kami pun jatuh pada depot Satria. Awalnya kami mau makan mie instan, namun nyatanya tidak tersedia. Kamipun memilih menyantap Sop Ayam.
“ Kalo hujan rugi lho ke Toraja “, kata temanku sebelum berangkat masih terngiang di kepalaku. Gerimis masih saja enggan reda. Sejauh info yang ku tahu, memang Toraja terkenal dengan panoramanya. Tapi apalah arti semua itu kalo hujan. Aku cuman bisa berbisik lirih pada Tuhan, semoga cepat reda.
Perjalanan terus menanjak. Angkutan umum sudah tidak kami temui. Aku sempat membaca arah petunjuk ke Kambira dan Desa Sa’adan. Aku memang berencana ke situkalau waktu memungkinkan.
Sejak masuk Toraja, bangunan replica khas Tongkonan terlihat hampir di semua pelataran. Kata Febri, selain fungsinya sebagai lumbung juga untuk menyimpan jenazah yang belum bisa dimakamkan. Kenapa belum dimakamkan ? Ada kemungkinan keluarga mendiang belum mampu mengadakan prosesi pemakaman. Memang prosesi pemakaman suku Toraja sangat besar, tentu saja perlu menggelontorkan dana yang sangat besar. Katanya minimal tiga kerbau yang harus dikorbankan per jenazah, aku sendiri belum tahu detil persyaratannya. Selama menunggu prosesi pemakaman itulah, jenazah disemayamkan di rumah tongkonan dan dianggap masih hidup namun sedang sakit.
Jam 09.00 WITA, kami sudah memasuki wilayah Batu Tomonga. Daerah ini menghampar persawahan yang tersusun berundak bertopang bukit. Di sini bisa ditemui bongkahan – bongkahan batu besar tersebar yang dimanfaatkan untuk makam. Perjalanan kami pun berhenti bawah sebentuk batu besar setinggi kurang lebih 10 meter.
Terlihat batu itu telah dilobangi yang katanya perlu 3 bulanan untuk membuatnya. Tangga – tangga bamboo yang digunakan menaikkan jenazah tersandar di dekat beberapa lubang. Selain untuk menaikkan jenazah juga digunakan untuk ziarah dan menempatkan sesaji. Di tubir lubang diletakkan patung yang menyerupai jenazah semasa hidup. Tidak hanya patung ada juga yang memasang foto akhir mendiang.
Gerimis tidak juga reda, meski intensitas rintiknya sudah rendah. Hawa dingin masih menyeruak menembus jaket, kepalaku mulai terasa sakit, mungkin karena tidak kututup dengan topi. Ku lihat jam tanganku, saatnya turun menuju objek selanjutnya. Semoga cerah segera tersenyum padaku.
Suguhan cerita dan foto2 menarik serta menambah wawasan budaya, trim sekali.