Peristiwa Proklamasi tidak pernah lepas dari peristiwa “penculikan: Rengasdengklok. Saat itu para pemuda yang dimotori Sukarni memaksa Soekarno – Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan saat nusantara dalam keadaan kekosongan kekuasaan. Namun Soekarno tetep keukeuh menunggu keputusan Jepang yang telah menjanjikan kemerdekaan. Secara Soekarno merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI, sebuah kepanitiaan bentukan Jepang.
…………………………….
Di hari terakhir bulan Ramadhan 1434 H, aku bersama Pak Komar bersilaturahmi ke GI Rengasdengklok, Karawang. Perjalanan dari Babelan menuju Rengasdengklok kami tempuh melewati Cabang Bungin dan Batujaya. Kurang lebih 1 jam perjalanan. Mumpung sudah di Rengasdengklok aku mengajak Pak Komar mengunjungi Tugu Proklamasi yang berjarak hanya sekitar 1 km melewati pasar.
Sesampai di Tugu Proklamasi, ternyata aku terlalu over ekspektasi pada tugu proklamasi. Bagiku ini hanya sebuah tugu peringatan yang terkesan alakadarnya. Tidak lebih seperti monument sederhana yang bediri di tepian tanggul sungai Citarum yang mengular hingga Muara Gembong.
Tugu Proklamasi berbentuk sebuah bangunan segi empat berundak yang diatasnya terdapat 4 bola kecil di setiap sudut dan sebuah bola besar di tengah. Pada bola yang terbesar terdapat tangan kanan mengepal ke atas seakan –akan keluar dari bola itu. Di belakang Tugu Proklamasi berdiri dinding ber-relief. Relief ini menceritakan peristiwa – peristiwa menjelang Proklamasi dari diskusi Soekarno tentang pesiapan kemerdekaan, perjalanan Soekarno ke Dalat – Vietnam menemui Marsekal Terauchi, “penculikan” , penyusuanan naskah proklamasi dan di paling ujung pembacaan Proklamasi Kemerdekaan.
Monumen ini dijaga oleh seorang penjaga yang ternyata mewarisi profesi ini dari orang tuanya. Aku lupa namanya, tapi dari beliau kami ditunjukkan rumah petani Tionghoa, Djiaw Kie Siong, tempat dimana Soekarno – Hatta menyusun naskah proklamasi. Hanya sekitar 400 meter dari Tugu Proklamasi.
Sebenarnya rumah tersebut tidak dilokasi asli. Rumah tersebut sudah dipindahkan karena lokasi aslinya telah tergerus Citarum pada tahun 1956. Meski dipindahkan , namun struktur dan bentuk masih dipertahankan. Hingga kini rumah ini masih terjaga baik oleh anak cucu Djiaw Kie Siong.
Banyak cerita miring dalam perjalanan menjaga warisan sejarah ini. Namun aku salut dengan keluarga Djiaw Kie Siong yang sudi menjaga dan memelihara rumah dan isinya. Senyum ramah dan antusiasme saat bercerita mereka memberikan makna betapa negeri ini patut untuk dicinta ….