behind the screen Chiang Mai – Singapore backpacker’s trip
Tenang! Ini bukan hinaan untuk orang Indonesia. Karena saya sendiri adalah orang Indonesia asli dan sangat mencintai sekali negeri saya ini. Posting saya kali ini hanya untuk menceritakan – kalau istilahnya tukul – ke-KATROK-an kami selama dalam perjalanan backpacker kami yang pertama ini ke thailand, malaysia, dan singapore.
Mau tak mau harus diakui, secara perkembangan teknologi negara kita (baca: Indonesia) cukup tertinggal kalau dibanding negara tetangga kita (padahal kita paling suka membanding-bandingkan kita dengan negara-negara tersebut). Jadi kita berenam sebagai penghuni kota-kota besar di Indonesia dan juga masuk golongan terpelajar saja bisa kaya orang kampung masuk ke kota berada dikota besar di tiga negara tersebut.
Hari pertama di Thailand, kita mau jalan-jalan keliling Bangkok via kereta subway. Orang sana menyebutnya MRT (mass rapid transport). Busyet, di Indonesia mana ada yang beginian. Diloket pembelian otomatis melototlah kita ngeliatin gimana caranya kerjanya alat ini. Baca dan baca, ternyata simple, tinggal tekan tujuan di layar touch screen, masukkan uangnya, keluarlah koin koin hitam untuk tiket masuknya. Masalah berikutnya – dan ini masalah yang paling penting karena menentukan tingkat malu didepan orang – adalah tinggal gimana cara gunakannya untuk melewati palangan pintu didepan sana. Nasib sial. Jam sudah jam 8 malam. Tidak ada orang masuk yang lain (maksutya biar kita bisa liat dulu gimana caranya). Ahaaa….ada satu orang yang masuk. Ternyata cepat sekali. Sampai tidak keliatan diapakan saja itu koin. Ervan, Purwo, Edo kayanya sudah ngeh dan sukses melewati. Mantos juga sukses. Son yang dibelakangnya Mantos lihat kalau koinnya Mantos cuma ditempelkan dilayar display, ikut-ikutan. Tapi ternyata pintu tetap tidak mau membuka. Ditempelkan lagi, digeser-geser tetap tidak mau membuka. Pak Satpam sudah lirak-lirik saja. Saya yang dibelakang Son bantu baca keterangan. Ternyata ada magnetig pad untuk tempat menempelkan koinnya. Langsung saja saya tunjukkan ke Son kalo koin harus ditempelkan disana. Terbukalah pintu. Tinggal giliran saya. Koin saya tempelkan tapi tidak mau membuka pintunya. Padahal tadi Son juga begitu caranya. Coba lagi. Tempelkan lagi. Tetap tidak mau membuka. Tulisan di display ‘error bla..bla…’. Sudah keringat dingin, sampai-sampai tulisan di display tidak masuk otak. Coba pindah pintu sebelahnya. Tempelkan koin, pintu tetap tidak mau membuka. Pak Satpam akhirnya menghampiri. Sambil malu-malu anjing tanya ‘how to use this coin?’. Pak Satpam menyuruh untuk re-program lagi koinnya diloket. Setelah diprogram akhirnya bisa juga melewati pintu ‘shirothol mustaqim’ nya. Analisa dan analisa, sepertinya pas nunjukin Son tempat untuk menempelkan koinnya, koin saya tersentuh magnetig padnya jadi saya sudah dianggap sudah masuk. Mantos yang masih keukeh kalau dia tadi menempelkan dilayar display dan pintu tetap dapat terbuka sepertinya memang koinnya menyentuh magnetig pad terlebih dulu. Ah malunya. Mana ditas cangklong ada bendera merah putih lagi.
Pas keluar lain lagi cerita. Seharusnya koinnya kan dicemplungin. Entah Edo atau siapa saya lupa, koin tetap ditempelin. Dan dengan cueknya keluar. Nabrak lah dia, karena palangannya kan jelas tidak mau berputar. Apa gak diliatin orang-orang coba.
Lain MRT lain BTS. BTS ini adalah jenis skytrain. Kalau MRT tiketnya berupa koin, sedangkan BTS tiketnya berupa kartu. Sistem entrance-nya kartu dimasukkan dipinggir terus nanti kartu keluar dibagian atas, kartu diambil dan membukalah pintunya. Mantos setelah kartu dimasukkan tidak melihat kalau kartu keluar dibagian atas. Tunggu dan tunggu, pintu tetap tidak mau membuka. Sambil tolah toleh seperti orang yang kehilangan kecerdasannya, binggung juga dia. Sampai Pak Satpam menyuruh untuk menyabut tiket yang sudah nongol dibagian atas. Edo beda lagi. Melihat orang didepannya cuma menempelkan kartu, dia ikut-ikutan. Setelah ditempelkan dia menerobos pintu masuk dan menambraklah lagi dia karena pintu tidak mau membuka. Ternyata orang yang didepannya tadi menempelkan kartu smart card, semacam kartu berlangganan lah.
Dan masih banyak cerita katrok-katrok lainnya.
Seandainya berada di eropa atau amerika dan mengalami kemaluan semacam ini mungkin bisa dimaklumi karena anak kecilpun tahu kalau kita (baca: Indonesia) sudah tertinggal sangat jauh dibanding negara-negara barat. Tapi ini masih di asia tenggara. Negara tetangga lagi. Ibarat MU dibantai Liverpool 4-1 di Old Trafford lagi. Malu bukan main. Sekarang sudah jelas semuanya. Soal perkembangan teknologi dengan thailand, malaysia, singapore kita mungkin tertinggal 10-20 tahun. Tiga negara tersebut sudah punya sistem subway yang bagus dan menjangkau tempat-tempat strategis. Belum lagi sistem skytrain yang ruwet yang hampir menjangkau seluruh sisi kota. Di Jakarta, paling banter KRL, kopaja ke kopaja, angkot ke angkot. Jauh….jauh….
Tapi jangan salah, soal keindahan alam, negara lain tidak ada apa-apanya…