18 Mei 2008
Berangkat dari Surabaya 17 Mei 2008, pukul 20:30, pukul 02:00 kita sampai di Situbondo. Kami turun di pertigaan arah ke Terminal. Karena masih terlalu pagi kami pun cangkruk di warung kopi. Di warung itu penjualnya seorang nenek yang kami tidak mengerti bahasanya ( campuran Madura dan Jawa ).
Selesai sholat Subuh kita berangkat naik bis ke arah Bondowoso . Di pertigaan ( Gardu Atak ) jalan menuju Kawah ijen kita turun dan menunggu anggota terakhir, Ervan yang berangkat dari Jember. Rombongan sudah lengkap, kita mencarter angkudes menuju ke Desa Sumber Wringin.
Sesampai di pos perijinan ( Base Camp ) kita berhenti untuk persiapan terakhir. Sambil mengurus perijinan kita pun sempatkan untuk mandi dan sebagainya. Di sini kita bisa minta disediakan sarapan dan memesan makanan saat sudah turun. Carter mobil ( pick-up ) juga bisa dilakukan di sini, untuk perjalanan ke Pondok Motor yang jaraknya sangat jauh dari pos perijinan.
Yakin persiapan perbekalan dan perlengkapan sudah fix, kita pun berangkat menuju Pondok Motor dengan mobil pick-up. Perjalanan menuju Pondok Motor kita dapat melihat hutan dan kebun labu ( gondes, di Blitar sebutannya ) dimana jalannya begitu terjal dan menurut informasi kalo ditempuh dengan jalan kaki bisa sampai 4 jam ( 7 km). Waktu yang dibutuhkan sekitar 20 menit bila menggunakan kendaraan.
Pondok Motor merupakan Pos 1. Dari sini kita berdoa bersama untuk keselamatan, kesuksesan dan kebersamaan dalam pendakian. Dilanjut jeprat-jepret…….dan kita pun berangkat dengan penuh semangat untuk mencapai puncak Raung tepat pukul 10:00 WIB.
Perjalanan menuju Pos 2 ( Pondok Sumur ) ditempuh dalam waktu 4-5 jam ke arah selatan. Jalur di sini begitu sulit, benar-benar seperti hutan yang masih perawan dan lembab, tak heran banyak lintah. Selain itu banyak sekali pohon tumbang dan menghalangi jalur pendakian. Kadang kita diharuskan merangkak ke tanah agar bisa menerobos ” halang rintang ” Raung.
Pondok Sumur sendiri berada pada ketinggian kurang lebih 1700 mdpl. Berupa tanah lapang namun tidak terlalu luas, cukup untuk 2 – 3 dome. Pos ini berbatasan dengan jurang. Disini kita beristirahat sejenak untuk melanjutkan perjalanan ke Pos 3, Pondok Tonyok
Dalam perjalanan menuju Pondok Tonyok kami menemui kera hitam yang sedang kejar-kejaran. Vegetasi jalur menuju Pondok Tonyok sudah tidak terlalu lebat. Pondok Tonyok sendiri berupa tanah datar yang lebih luas dari Pondok Sumur. Di sini kita makan malam sekaligus jama’ qasar Maghrib – Isya. Perjalanan menuju Pondok Tonyok memakan waktu 2-3 jam.
Pos ke 4 adalah Pondok Demit. Disini kita dapat temui bisvak yang mungkin dibangun untuk tempat istirahat para pendaki. Kita memutuskan untuk istirahat diantara jalur Pondok Demit dan Pondok Angin. Sebenarnya ada satu Pos lagi setelah Pondok Mayit ( 2.670 mdpl ), tapi kami tidak menemukannya. Karena mungkin saat itu mental, semangat dan stamina sudah down ( ditambah ga nemuin Pondok Mayit – yg ternyat sudah terlewati ) kami memutuskan untuk istirahat dan jam 2 dini hari kami akan melanjutkan perjalanan.
19 Mei 2008 (Puncak)
Kita terlambat bangun, ( ato benernya males bangun ) jam 3 pagi !!!. Persiapan dimulai dan langsung berangkat. Kami meninggalkan semua perlengkapan kecuali lampu senter dan bendera e-41. Sebelum sampai Pondok Angin, gerimis datang dan suara angin begitu ribut ( nama Raung, menurut info diambil dari fenomena ini, dimana angin ” meraung – raung ” ).
Di saat itu kami terbagi menjadi 2 kelompok, yang satu tetap melanjutkan ke puncak, yang lain kembali ke tenda. ” Perpecahan ” ini diawali dari pertentangan pendapat antara Mantos dan Chimot, 2 orang ” master ” pendakian diantara kami. Chimot berkeras kepala untuk tetap ke puncak walaupun tidak dapat sunrise dan tetap bertahan sampai hujan reda. Alasannya dia merasa rugi cutinya percuma. Sedangkan Mantos lebih ke alasan keselamatan bersama karena kondisi cuaca yang kurang mendukung. Apalagi saat itu Edo dalam keadaan sakit. Pertentangan dua orang ini menyulut emosi Son, hingga terlontar kata kasar yang sebenarnya ditujukan ke Chimot dan Mantos tapi sasarannya salah. Hal inilah yang menyebabkan suasana di kemudian jam ( ? ) tidak mengenakkan ( apalagi Son ga merasa akan kesalahannya). Akhirnya Chimot, Edo, Purwo dan Son melanjutkan perjalanan ke Pondok Angin setelah dirasa cuaca kembali normal (sedangkan yang lain kembali ke tenda). Dalam perjalan menuju Son sempat terperosok ke jurang. Sesampai di Pondok Angin kami pun istirahat untuk sholat Subuh juga jeprat-jepret.
Perjalanan dilanjutkan melewati vegetasi dataran tinggi. Dibatas vegetasi kami menemui memoriam Hidayat dan di depan telah menantang bibir kawah terbesar di Pulau Jawa. Disebelah kiri kami terlihat Gunung Suket yang menurut kepercayaan merupakan gunung angker, siapapun yang kesana tidak akan bakal bisa pulang.
Perlu sekitar 15 menit kami bisa mencapai bibir kawah. Jalur menuju puncak begitu terjal dan licin. Kadang kita harus melewati jalan setapak dimana kanan kirinya terdapat cekungan aliran lahar yang dalam. Bibir kawah sendiri memiliki kemiringan hampir 60°. Namun sesampainya di bibir kawah kita bisa dibuat kagum dengan kawah terbesar di Jawa ini. Dengan puncak 3332 mdpl, Gunung Raung memiliki luas kurang lebih 11,5 km2 dengan kedalaman sekitar 500 m. Tentu saja kita bisa melihat Gunung Semeru dan laut dari sini.
Dengan cahayanya, mentari menuliskan nama-Nya di dinding kawah
namun tiada mampu dg sempurna menuliskannya
seperti kita yg belum sempurna mencintai-Nya
dibibir kawah kita mengerti betapa tipis jarak maut dg kita
sesempit waktu kita di sini,seperti kedipan mata saja
jabat tanganku sobat, lelah aku mengikuti ambisimu
namun akan kuikuti sampai kapan pun
terkenang aku tentang perseteruan antara kita
begitu liar menyakiti hati kita
menggores di lembar cerita persaudaran kita
namun tiada harap kita ada benih dendam
Hampir satu setengah jam kami menikmati pemandangan menakjudkan kawah Gunung Raung dan matahari mulai meninggi, panas banget, tapi sejuk sekali anginnya. Kami memutuskan untuk turun pada pukul 07:15. Sesampai di tempat pendirian tenda, Mantos dan yang lain sudah menyiapkan sarapan untuk kami berempat. Pukul 10.00 kami semua melanjutkan perjalanan ke kaki gunung.
Setelah melewati Pondok Sumur, hujan deras mengguyur kami. Rombongan ini pun terpecah menjadi dua kembali, Mantos bersama Ifa dan Son, sisanya tertinggal di belakang. Hujan yang deras membuat jalur pendakian menjadi licin, tidak jarang kami terpeleset. Hujan mulai reda ketika kami mulai mendekati Pondok Motor. Pukul 18.00 kami semua sampai di Pondok Motor. Di sana ternyata jemputan telah menunggu, namun mobilnya terperosok ketika akan berputar arah. Kami pun bersama-sama mereka mengangkat bagian depan mobil tersebut, padahal rasa capek banget.
19.00 kami sampai di pos perizinan pendakian. Di sini bapak Ervan sudah menunggu dengan membawa banyak Pocari Sweat. Setelah selesai makan sop dan membersihkan diri kami bertujuh beserta pendaki lain menuju terminal Situbondo dengan mobil carteran ( Ervan langsung pulang ke Jember ). Sesampai di terminal kami langsung naik bis ekonomi non-AC Situbondo- Surabaya, pukul 22.30.
Catt:
- Dari Jakarta naik KA jurusan Surabaya (Bisnis (Rp 150rb), Menuju Terminal Purabaya/Bungurasih menuju Situbondo (Rp.32 rb)
- Dari Terminal Situbondo cari bis yang menuju ke Bondowoso, berhenti di Pertigaan Gardu Atak (Rp. 5 rb)
- Dari Gardu Atak carter angkutan umum menuju Sumber Wringin (@Rp. 10 rb)
- Iuran untuk pendakian @ Rp. 10rb
- Carter mobil pick-up @ Rp 10rb
- Demi keselamatan bawalah beban yang ringan saja ketika menuju ke puncak, karena jalur sangat berbahaya
- Saat melewati Porong, kemacetan yang begitu panjang terjadi. Jalur yang dimanfaat hanya satu jalur. Di sini kita bisa melihat kepulan asap gas dan tanggul yang berdir i tegak setinggi lebih dari 7 meter
quote : “hingga terlontar kata kasar yang sebenarnya ditujukan ke Chimot dan Mantos tapi sasarannya salah”
hahahahaha edannn tenaaannn, mantabs jaya koen kabeh rekk !!!!