Aku tiba di Manila, Filipina, sebuah kota yang menggagahi daratan teluk timur pulau Luzon. Sejak tahun 1976 telah menggantikan peran Quezon City sebagai Ibukota Negara yang pernah dijamah oleh bangsa – bangsa kolonialis, bahkan salah satu kerajaan besar di Nusantara.
Negarakertagama menyebutnya sebagai Saludong atau Selurong, dimana pada abad 14 merupakan salah satu propinsi dari Kerajaan besar Majapahit di bawah realisasi Sumpah Palapa. Namun kemudian di awal runtuhnya Majapahit, kota yang merupakan pusat Dinasty Tondo hingga akhirnya remuk digilas kekuatan berpanji satu Tuhan, Kesultanan Bolkiah Brunei, dan berubah menjadi negara satelit Kerajaan Brunei. Mungkin disinilah gerbang awal dari penyebaran Islam di Filipina. Dan di akhir abad 16 datanglah paham kolonialisme yang menyisip pada semangat pembuktian teori dari ilmuwan yang pernah dianggap menentang otoritas gereja, Galileo Galilei, bahwa Bumi itu bulat.
Inggris Raya juga pernah berkuasa di kota ini, namun tidak berlangsung lama kembali ke tangan Spanyol. Selepas dari Spanyol, Panji kolonialisme kembali merajam kota ini. Hingga awal abad 20, negeri ini menjadi medan perang antara Republik Filipina melawan Amerika Serikat. Dan akhirnya bersamaan dengan berakhirnya PD II, Filipina dan Manila khususnya menjadi tuan di negerinya sendiri.
Manila telah berkembang pesat sejak Perang Dunia II berakhir. Industri – industrinya meracuni sungai hingga diantaranya secara biological dianggal “mati” . Hasrat modernitas yang tidak diimbangi dengan infrastruktur seakan menggerus kualitas lingkungan hidup kota ini. Hampir tidak beda dengan Jakarta.
Di jalanan, sisa – sisa kendaraan Amerika di Perang Dunia II menjadi angkutan umum khas, Jeppney. Di setiap sisi tertulis rute yang dilewati, sejauh apa pun tarifnya sama. Sistem transportasi massal, MRT menjadi pilihan alternative dalam mengimbangi laju waktu dan kondisi financial individu. Sesak namun dinginnya AC seperti penghibur hati yang gelisah akan ketidaknyamanan dan keamanan. Meskipun begitu kota ini tak lepas dari permasalahan kemacetan (namun mungkin tidak separah Jakarta). Indikasi lemahnya suatu perencanaan oleh sebuah pemerintahan.
Manila bisa dikatakan manifestasi dari keuskupan agung Katolik Roma. 93 % warganya beragama Katolik Roma, sisanya Kristen Protestant, Buddha dsb. Sayang aku melewatkan Quiapo, daerah dengan populasi Muslim yang cukup besar di Manila, di mana Masjid Al-Dahab berada.
Kota ini terus bergerak. Derap laju kaki yang tenggelam oleh deru mesin angkutan seperti detak waktu yang tiada henti. Suara – suara para penjaja keping – keping CD bajakan melantun menawarkan tontonan erotis murah. Sebuah dentang bel gereja melenting diantara sesaknya jalanan. Ku hentikan sejenak langkah, kulihat dua temanku dan kakak perempuanku mulai dihasut letih.