Surokarto Hadiningrat Mosque


Sedikit kecewa ketika mengetahui bahwa jam kunjungan Keraton Solo telah habis. Meski aku sudah pernah mengunjunginya saat SD kelas 3, namun tetap saja ada rasa ingin melihat lagi, soalnya aku hanya ingat sedikit apayang kulihat saat itu. Paling – paling kereta kencana, batang kayu yang dikeramatkan ( nah ini lupa namanya ) dan warna biru khas keraton Solo.  Kembali kulangkahkan kaki ke arah utara, mungkin ada yang bisa dinikmati sambil melihat para pedagang Pasar Klewer mulai membereskan dagangannya dimana waktu mulai menyebut nama senja.

Dari alun – alun utara keraton. Di sisi barat kulihat sebuah masjid. Masjid Agung Surakarta Hadiningrat. Masjid yang dulunya merupakan masjid kenegaraan Kesunanan Surakarta saat masih berdaulat atas nama sendiri. Aku pun menuju kesana.

Didirikan pada pemerintahan Paku Buwono IV ( informasi lain oleh PB III pada tahun 1763 – 1768 )dan kemudian disempurnakan pada masa Paku Buwono X. Dan pada masa itulah ujung atas atap masjid yang awalnya terbuat dari emas diganti dengan material non emas. Penggantian itu karena sebagian dicuri. Di masjid saja tempat dimana Tuhan bertemu dengan hambanya saja bisa dicuri, apalagi ditempat lain…. Selain itu gapura masjid yang bergaya Persia juga dibangun saat masa PB X.

Untungnya gaya arsitektural khas masjid Jawa tidak ikutan dirombak oleh PB X. Tiga atap tajug tersusun menjadi cirri khas masjid Jawa. Setiap atap tersebut memiliki makna :

  1. Simbol perlindungan bagi umat yang menjalankan syariat Agama Islam ( SYARIAT)
  2. Simbol perlindungan bagi umat yang menuju jalan kesempurnaan (TAREKAT)
  3. Simbol perlindungan para kekasih Allah (HAKEKAT)
  4. Puncak atap memiliki makna MAKRIFAT

Di sisi utara terdapat menara masjid setinggi kurang lebih 30 meter yang dibangun di masa PB X. 100.000 gulden adalah biaya yang dihabiskan untuk membangun menara pada tahun 1829 ini. Dahulunya Muadzin harus naik ke atas bila adazan, sekarang tidak lagi. Bisa dianggap ini adalah symbol dari lingga atau pria. Sedang di sekitarnya terdapat kolam yang dulunya berfungsi sebagai tempat wudlu. Kolam tersebut adalah symbol yoni atau wanita, bermakna kesuburan dan asal kejadian. Lantai terluar sebelum memasuki masjid terdapat parit yang dulunya untuk mencuci kaki sebelum menuju tempat wudlu. Dua bangsal di sekitar area masjid merupakan tempat penyimpanan gamelan yang biasanya dimainkan saat acara Sekaten. Di sini kamu juga bisa menemukan jam matahari. Aku ga sempet motret karena banyak orang yang “sedang” membaca jam itu.

Bagian depan masjid didominasi warna biru, warna khas Kesunanan Surakarta. Namun di bagian dalam interior lebih anggun karena nuansa kayu, klasik dan Jawa banget terasa kental. Mendekati pintu masuk ruang utama terlihat lantai yang dibiarkan tak berubin dan ditutup dengan kaca. Entah sampe sekarang aku tidak tahu apa itu. Kuburan ? I don’t think so……..

Masjid Agung Surakarta ini memiliki area yang lebih luas dari pada Masjid Agung Yogyakarta . Tentu saja lebih tua usia pembangunannya. Kelebihan lain adalah adanya pepohonan tinggi yang tertata. Terkesan lebih sejuk. Tidak mengherankan menjadi tempat istirahat orang – orang yang sedang berwisata, belanja di Pasar Klewer atau sejenak meluangkan waktu mengingat Sang Tuhan.

Sudah sore, tanpa kulihat pukul berapa saat itu, aku sholat Ashar terlebih dahulu. Masih baru saja takbiratul ikhrom, terdengar bedug di tabuh dan adzan Magrib pun berkumandang di masjid yang telah menjadi pusat kegiatan keagamaan Islam sejak zaman colonial Belanda ………………….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s