“ Masihkah terbesit asa anak dan cucuku mencumbui pasirnya ? ……………… “ (Mahameru – Dewa 19 )
Bagiku mendaki gunung bukan sekedar adventure, menguji nyali atau berbaur dengan alam. Namun semacam perjalanan spiritual. Ada banyak cara untuk mengenal diri. Dan bagiku salah satunya adalah dengan mendaki.
November kemarin, aku mendapat kesempatan ke Semeru.
Pukul 02.00 dari Ranu Pane kami memulai perjalanan menuju Ranu Kumbolo. Tiada kesulitan berarti dalam perjalanan ini. Hanya lelah dan waktu saja yang berkecamuk dalam benak. 4,5 jam kemudian sampailah aku dan Ihsan di area Ranu Kumbolo. Aku memutuskan menunggu yang lain. Dalam hati ada yang protes, tidak bisakah aku menekan egois saat pendakian. Terus terang hampir di semua pendakian aku selalu di depan dan tidak jarang aku tega meninggalkan teman serombongan untuk sekedar segera mencapai sebuah titik perhentian. Yang jelas tidak ada niat menunjukkan betapa tangguhnya aku, namun karena aku tidak ingin tubuh ini terlalu lama istirahat dan akhirnnya malah melemahkan kondisi tubuh. Aku hanya seorang manusia yang tidak sabaran dan sulit mengerti.
Ada saja pembelaan dari egoism ku. Salah satunya : Aku tidak meninggalkan teman rombonganku tanpa suatu alasan. Aku beranggapan selama dibelakang masih ada yang pengalaman, tidak masalah. Inilah keburukan sifatku. Entah sulit atau aku sendiri enggan merubahnya. Dasar egois.
Setelah berkumpul. Aku pun dicaci oleh Gerar, tentang tidak berkualitas aku dalam memimpin kelompok ini. Katanya, harusnya aku tidak memaksa mereka menyesuaikanku, bukannya tanpa peduli dan mau menyesuaikan ke anggota yang terlemah. Harusnya aku berada di posisi paling belakang karena yang paling kuat, biar aku tidak meninggalkan kelompok. Tapi aku khan akan cepat lelah jika jalannya pelan ……. Tetap saja aku membela diri. Terang, trauma di Cikuray masih saja menghantuiku
Tanpa Ervan dan Yulia, kami bertiga melanjutkan perjalan menuju Kalimati. Dalam perjalanan inilah Gerar merasakan efek dari terpeleset dan jauh saat di Tumpang. Cedera ringan itu semakin menjadi karena di paksakan dalam perjalanan kurang lebih 4 jam. Sebenarnya aku sudah menyarankan dia untuk stay di Ranu Kumbolo. Gerar menolak karena terpancing sindiranku. Gengsi teman – temanku itu tinggi banget. Terkadang tingginya menjulang menembus batas kuadran realitas. Na inilah salah satu factor aku tega meninggalkan teman saat pendakian ( cari alasan membela diri lagi ….).
Hujan mulai mendera, Aku dan Ihsan mempercepat langkah. Kami tinggal Mas Bam dan Gerar yang tertatih di belakang. Perhitunganku ketika mereka berdua sampai, tenda sudah berdiri. Namun hujan hari itu begitu deras. Sesampai di Kalimati, Aku dan Ihsan segera mendirikan tenda.
Sekitar sepuluh menit Gerar dan Mas Bam telah menyusul kami. Basah dan dingin semakin mencabik – cabik kondisi Gerar. Apalagi Beberapa bagian dalam tenda kemasukan air hujan. Mungkin saat kami mendirikan tenda tergesa – gesa tadi, kami tak sengaja membiarkan air masuk.
Tas basah. Jaket basah. Kaos kaki basah. Embun air hujan menembus tenda. Semua basah. Kami berempat meradang dalam dingin. Mengeluh hanya akan menjadi kata rayuan untuk beratnya hidup. Mereka memutuskan tenggelam dalam sleeping bag dan aku diam saja sambil meluruskan kaki.
Jam tanganku menunjukkan masih belum jam 6 sore. Gerimis masih menusuk bumi. Aku terdiam sendiri. Tiga temanku sudah larut dalam sleeping bag. Aku tidak membawa sleeping bag. Tertinggal di Garut. Bodoh dan ceroboh. Sesekali aku keluar tenda hanya untuk menggerakkan tubuhku dari cengkeraman jemari dingin. Rasa lapar menggerutu pelan. Dan malam itu aku hanya memakan satu bungkus coklat caramel dan nata de coco. Air hanya tinggal 3 liter.
Pukul 23.00. Ternyata aku terlelap juga. Ku bangunin Mas Bam dan Ihsan. Ku amati Gerar. Dia terlelap dengan irama nafas yang normal. Dengan begitu aku berani meninggalkannya sendiri di tenda. Jujur dalam hati aku kawatir akan keadaannya. Namun aku yakin dia baik – baik saja dan tidak mau membebani temannya. Tapi yang jelas pasti ada kecewa dalam hatinya karena tidak bisa muncak dan “sungkem” di prasasti Gie. Gengsi dan cita itu akhirnya runtuh dicumbu kenyataan.
Setelah menitipkan ktp, kami berangkat menuju Arcopodo.
Ada dua pengertian tentang nama ini. Yang pertama, arcapada berarti dunia fana atau semesta dalam mitologi jawa kuno. Sebuah dunia yang bisa dihuni oleh makhluk fana ( Manusia, hewan dan tumbuhan ). Tidak mengherankan disinilah tempat terakhir para pendaki bisa mendirikan tenda. Di sinilah menjelang batas terakhir vegetasi sebelum menjilati pasir Mahameru.
Pengertian kedua adalah Tempat Arca ( Arca = patung, Pada = Tempat ). Konon menurut mitos , hanya orang yang memiliki kelebihan yang bisa melihat sosok Arca imajiner/tak kasat mata itu. Beberapa orang malah mengira bahwa dua pasang arca itu telah hilang. Namun sebenarnya arca itu nyata (kasat mata) dan masih ada meski tidak utuh lagi dan tidak berada dalam jalur pendakian. Lokasi arca itu adalah jalur sebenarnya menuju puncak hingga di sekitar tahun 1979, kemudian jalur pendakian dipindah seperti jalur sekarang. Hingga kini belum jelas alasan apa yang mendasari pemindahan jalur itu. Mungkin tingkat resiko bahaya.
Banyak pendapat tentang maksud keberadaan dua arca tersebut. Salah satunya adalah sebagai penolak bala dari “kemarahan” Semeru. Dalam kepercayaan kuno, gunung adalah tempat suci para dewa. Dimana para dewa berkuasa secara konstruktif maupun destruktif.
anyway……
Jalur menuju Arcopodo adalah tanjakan curam. Kami menempuh waktu 1,5 jam. Rasa kantuk dan lelah tidak kami hiraukan. Kami ingin puncak sebelum jam 7 pagi. Dan dari Arcopodo diperkirakan butuh waktu 5 jam pendakian. Ku hemat air minumku yang hanya 600 ml sampai nanti kembali di Kalimati.
Seperti cerita Chimot, jalur ini adalah yang tersulit. Pasir vulkanik dan bebatuan yang labil menguras tenaga. Ku menengadah sekedar membunuh penasaran di manakan ujung jalan ini. Jauh dan menjulang. Ku menoleh ke bawah, sudah tidak kulihat lagi Mas Bam. Ihsan terlihat sedang berjuang dalam lelah. Dingin , gelap dan nafas tersenggal menggema di pagi itu. Tubuhku pun mulai mengeluh. Jantungku mulai sesak. Kepala pusing dan hidungku berair.
Mentari sudah menggores warna jingga. Fajar sang sais pagipun mulai bergerak cepat membuka tirai hari. Sudah lima jam aku merangkak dalam pasir. Jalur semakin menyempit. Aku telah melihat ujung jalan ini. Dan jam 6 pagi kurang aku sampai di titik tertinggi pulau Jawa, Puncak Mahameru.
Dan kujamah Jonggring Saloka, kahyangan tak kasat mata
Ada kedamaian meski ratusan manusia berisik di sana
Lelahku pun telah tersaput hangatnya bagaskara
Ada kebahagiaan meski kerisauan masih menjalar
Sang merah putih berkibar di sela- sela tawa
Nisan Gie tenggelam dalam rengkuhan
Letupan kawah bagai penantian panjang
untuk gempita di setiap wajah – wajah resah
Aku menerawang jauh
Memaknai sejenak letih kalbu
Risauku masih bergelut dalam debu
Terasa terjal seperti batu Semeru
Apa yang kurang dari negeri ini ?
Apa yang tak bisa diberi Ibu Pertiwi ?
Masih saja putra – putrinya hidup miskin
Masih saja para pemimpin miskin hati
Miskin nurani
Ah angkara anak manusia sungguh menjijikan
bagai sampah – sampah di rerumputan
mungkin busuknya tak kan menghilang
hingga digilas Semeru yang murka
Kembali ku teringat akan Gerar , waktupun menunjukkan hampir 7.15, pesta sudah usai. Aku mengajak Ihsan dan Mas Bam untuk kembali ke Kalimati. “Penyakit”-ku pun kumat lagi. Aku berlari duluan meninggalkan mereka berdua. Tabiat egoitik yang sulit disembuhkan.
Dalam perjalanan menuju kalimati benakku masih risau tentang misteri Arcapada. Sejenak aku berhenti lama di pos terakhir itu sambil menunggu Ihsan dan Mas Bam. Tidak kutemukan sama sekali dua arca itu. Memang benar bahwa arca itu tidak di jalur ini. Aku pun kembali menuruni jalur Arcapada dengan tanya tak terjawab.
Hanya 2 jam aku dan Ihsan sampai di Kalimati. Mas Bam masih dibelakang. Gerar sudah bangun dan baik – baik saja kecuali kondisi kakinya yang masih lemah. Pagi itu sangat cerah, kami sempatkan menjemur semua perlengkapan yang kemarin basah. Ihsan memasak mie di tenda sebelah, mungkin saking laparnya. Target jam 11 kami sudah start kembali ke Ranu Kumbolo.
Apakah yang ada dibenak para pendaki ?
Hanya mencari penaklukan ?
Hanya untuk bukti eksistensi diri
Aku termenung dalam komedi cara pikir manusia
- Saat pendakian ini sedang dilaksanakan pendakian masal oleh Avtech. Keindahan Ranu Kumbolo seakan tenggelam oleh tenda – tenda, riuhnya para peserta, kotornya sampah – sampah dan bodohnya beberapa pendaki yang mandi dan mencuci peralatan makan di danau.