Tegal Alun
Banyak hal tak terduga ketika kami memasak. Ga bawa sendok dan garpu, jadi untuk gantinya terpaksa pake ranting. Dan jelas itu tidak mengurangi rasa nikmat, karena kelaparan memang mampu menumpulkan kemampuan lidah. Begitu terisi, rasa kantuk membekap mata. Setelah beberes kami bertiga pun terkapar diantara bebatuan di bawah rindangnya pohon. Terlelap meniti mimpi.
Hanya satu jam kami tidur. Beberapa rombongan mulai turun menuju Pondok Selada. Angka 14.30 berkedip seperti mengingatkan kami untuk segera beranjak. Sesuai info dari rombongan sebelumnya , kurang setengah jam kami sampai di Tegal Alun. Menuju kesini terdapat sebuah tanjakan yang bernama Tanjakan Mamang, sayang sekali kami ga menemukan tulisan seperti yang di blog – blog pendakian.
Ladang edelweiss menghampar luas serasa tak berbatas karna kabut mulai turun, merepih kehangatan mentari. Di arah barat mentari tersekap mega. Saat itu ada semacam kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa. Entah apa itu. Aku sempatkan bertanya kemana arah menuju puncak. Dan tidak kudapat jawaban yang memuaskan. Memang tidak popular puncak Papandayan, tenggelam oleh nama Tegal Alun.
Kami pun mulai menyusur perlahan ke arah barat. Banyak kemungkinan jalurnya dan itu sangat membingungkan hingga kamipun menemukan tali raffia yang diikatkan di dahan – dahan edelweiss. Dan Alhamdulillah kami menemukan papan petunjuk arah puncak. Menunjuk ke arah punggungan bukit di seberang sana.
Puncak
Rintangan pertama adalah sungai kecil yang mengalir diantara rerumputan hijau. Dingin , sedalam hampir selutut tidak ada pijakan batu sama sekali. Setelah itu mulailah jalan setapak terlihat menanjak ke arah belukar. Tantangan Papandayan di mulai dari titik ini. Selama 1 jam kami berjalan dari Tegal Alun akhirnya kami beristirahat di sebuah tanah yang cukup lapang. Awalnya kami pikir inilah puncak, karena datar , cukup luas dan berada di tepian kawah.
Namun beberapa saat kemudian kami tahu ini bukan puncak. Serombongan pendaki baru aja turun dari puncak. Mereka sejenak berhenti dan beristirahat bersama kami. Dari mereka kami tahu puncak sudah dekat, kurang lebih 15 menit kata mereka. Di sela perbincangan, aku iseng bertanya “ Bisa ga dari puncak langsung ke parkiran (pos 1) tanpa balik lagi kesini ? “. Ada, tapi jalur itu sudah lama ditutup dan mereka belum pernah sama sekali melewatinya, meskipun telah mendaki Papandayan lebih dari 10 kali. Kata mereka jalur itu menyusuri bibir kawah dan akan berujung di sungai belakang parkiran. Kami pun berpamitan untuk mengejar waktu, saat itu sudah pukul 16.30.
16.50 sampailah kami di puncak. Yup ini jelas puncak , karena papan nama terpatri di pohon. Alhamdulillah. Sejenak kami melepas beban dan sholat Ashar. Sambil menikmati hawa sejuk di sore hari kami menatap landscape Papandayan.
Bila kau masih sanggup menapakan langkah
memaknai terjalnya kehidupan dan mimpi – mimpi selalu menggoda
Jika kau masih ragu untuk jejakan langkah
mengarungi pahitnya kehidupan,
biarkan mentari menyapa sang gelap
kan kembali aku nyalakan
kan kembali aku teriakan
bara gelora jiwa yang pernah membakar
dimasa muda kita,
di masa kita gila.
Biarkan angin liar memandu langkah kita
ke sebuah tujuan tak terpetakan
seindah gejolak magma papandayan
Hanya 15 menit kita di sini. Setelah memastikan ada jalan setapak lain, tepat 17.00 kami berangkat. Target kami pukul 20.00 sampai di parkiran.
bersambung ……………