Selasa 10 Maret 2015
Deru angin bergemuruh mencoba menggerus nyali kami. Seperti kala kami hendak ke puncak Raung tahun 2009 , saat itu sebagian dari kami mengurungkan niatnya untuk menggapai Raung. Memang sejak kami terjaga dari tidur suara angin terdengar meraung raung. Tapi kami segera bergegas beranjak dari tenda, waktu sudah menunjukkan 03.00 WITA, dan kemarin kami berlum sempat observasi jalur ke Puncak.
Tidak seperti biasa saat kami melakukan attack summit di beberapa pendakian, malam itu sangat pekat meski waktu itu masanya rembulan tampil sempurna. Tidak ada bintang yang sudi mendampingi kami.
Hampir seperempat jam kami menelaah jalur yang akan ditempuh. Mungkin dingin dan jarak pandang sedikit menelangkupkan keraguan. Seiringnya dengan langkah yang memutuskan kemana arah berjalan, kamipun mulai menemukan jalur menuju puncak.
Jalur langsung menanjak. Kedua tangan kami seketika mulai bekerja meringankan kinerja kaki. Sarung tangan kami telah basah oleh embun dan lembabnya bebatuan. Jantung pun memintal nafas lebih cepat di udara yang semakin menipis. Seperti biasa strategi pendakian 10 – 2 dan 30 – 5 kami terapkan agar lelah tidak meraja.
Semakin ke atas suara deru angin semakin kencang. Kabut Tambora serasa terlelap tak terjaga, pekat hingga jarak pandang tidak lebih dari 2 meter. Bayang – bayang cemara pun hanya terlihat hitam dan tinggi bagai dwarapala yang menjaga istirahatnya Sang Ancala. Aku dan Chimot sejenak mengurai letih. Sama sekali tidak panorama yang terlihat. Pelit nian malam itu. Belum sempat kami beranjak, hujan kembali turun , sebuah tanda penyambutan dari Tambora bagi kami. Lelah, waspada dan keraguan membuat langkah kami begitu lambat mengimbangi detak waktu.
06.00 WITA, hujan reda selepas kami memasuki dataran tanpa vegetasi besar. Bebatuan dan pasir mendominasi dataran ini. Ketinggian saat itu sudah mencapai 2450 mdpl. Namun jarak pandang yang pendek membuat kami berada diantara gentar, ragu dan nekad. Berbekal kompas dan koordinat GPS kami mencoba meraba raga Tambora. Matahari benar- benar dicampakkan oleh Tambora. Angin pun sempat menggoyahkan langkah kami.
Kami berjalan seakan tidak tentu arah. Jarak kami dengan puncak yang tertera di jam garminku tidka beranjak dari angka 600 meter. Malah kadang semakin jauh dan ketinggian pun naik turun. Hingga 07.00 progres menuju puncak tetap nol %. Kami mulai kewalahan dengan suasana dimana angin , kabut dan embun mendekap kaldera. Chimot mulai mengeluarkan Xiaominya. Saat itu angka jarak yang tertera di smartphone Chimot dengan angka di jam garminku sama. Namun arahnya berbeda …………..
Kami mulai berdebat tentang arah. Ujian persahabatan kami diuji disini. Kami sama – sama keukeuh dengan data masing – masing. Jengkel mulai mewarnai debat kami. Aku pun mulai merasa lelah dengan perdebatan. Yang jelas dunia pun tahu kepala Chimot lebih keras dari kepalaku. Aku mengalah dalam gerutuan yang tertahan. “ Sampai kapan kita mencari Puncak ? ini dah hampir jam 8 “. Chimot tidak menjawab hanya menyuruhku jalan terus menuju arah barat.
Sampailah kami di bibir kawah. Hanya mata manusia yang bisa menangkapnya. Kamera kami hanya mampu menangkap warna putih. Kami diam sejenak, kemudian kami menolehkan arah ke kiri. Jarak masih saja 600 meter, baik di Xiaomi maupun di garmin. Aku masukkan jam garminku, aku serahkan sepenuhnya kepada Chimot, toh selama ini dialah navigator terbaik di tim Engineear. Males juga mengakuinya. Hmmm….. Awas aja kalo salah, ku bully dia habis – habisan. Tapi jelas aku berharap arahnya benar, kalo salah dan kami tidak dapat puncak , aku dan Chimot akan jadi ladang per-bully-an Mantos.
Ah … kami menemukan patahan. Dalam , hampir 3 meter dan tidak cukup sulit diturunin. Patahan itu sempat membuat kami ragu, tapi begitu inget pesan Bang Ipul, kami kembali memantapkan langkah. Aku mulai tertinggal cukup jauh dari Chimot. Terkadang malah Chimot menghilang dari pandangan karena tersaput kabut.
Entah arah mana yang kau tuju
Langkah gontaiku tetap menuju ke arahmu, Kawan
Punggungmu adalah sandaran ragu dan kesalku
Tetaplah berjalan
Jikalau kau berhenti maka runtuhlah semangatku
Oh retaklah kabut pekat
Nalarku mulai lumpuh karna terbatas pandangan
Serasa ajal mengintip di celah kaldera
Namun hasratmu terus membuatku terjaga
Tiba – tiba Chimot berteriak “ Puncakkkkk !!!! ………………. Ayo wes cedak !!! “. Ah … ku percepat langkah meski mungkin sebenarnya semakin lambat aku berjalan. Ku hujamkan langkahku di tiap tanjakan. Aku berhenti sejenak dengan kaki gemetar. Lima langkah dariku , Chimot bersujud khidmat ………
Dan kau ikatkan Sang Merah Putih di puncak Tambora
Berkibar liar seperti hasrat dan cinta
Menjelma dalam bangga dan megah
Namun dibawah sana, anak anak negeri sibuk mencari perbedaan
Sedangkan dulu leluhurnya berjuang menyatukannya
Tidakkah kita bosan mengeluhkan perbedaan ?
Menyalahkan keadaan ?
Apa harus bencana yang kembali menyatukan kita ?
Apa perlu Sang Tambora menggelegar kembali
Sehingga kita bersatu kembali meski dalam nestapa dan nelangsa ……………….
Di puncak tambora kami kembali mengingat apa yang pernah terlupa
tentang kodrat kita untuk mensyukuri hidup..
dengan berjuang dan beradaptasi ……………..
Hari itu kami memang tak berkawan dengan matahari. Kami tak bercumbu dengan langit biru. Pun tak diizinkan mengabadikan kaldera legendaris. Namun suasana hari itu telah sekian lama kami merindukannya. Oh begitu membiru cinta kami pada negeri ini. Sangat bahagia. Dan disaat setiap aku mulai menyerah, ada sahabat yang menyentak semangat dengan caranya sendiri. Aku pun harus mengakui bahwa aku keliru memasukkan titik koordinat ke GPS.
Kemudian, lagi – lagi hujan datang, angin pun semakin menjadi – jadi. Namun tidak mampu meluruhkan perasaan betapa kami kecewa dan sesal tidak bisa melihat kaldera. Dan itu ternyata seperti memberatkan langkah kami. Ingin rasanya bertahan hingga hujan reda. Tapi Sang Kala masih saja tak berhenti berlari seperti memaksa kami untuk paham tentang keikhlasan.
Kami berjalan menuju POS 5 dengan perasaan yang campur aduk meredam rindu dendam ……………………………
bersambung ……
saya selalu terpukau oleh puisi2 anda yang mengagumkan
Saya nunggu anda nulis ga nulis2 Freak
Pak Son, kapan saya diajak mendaki gunung? hehehe……
Ayo Mbak. Ntar bareng sama Mas Mahe, beliau juga mau naik