TAMBORA (1) : Semangat Yang (Sempat) Patah


Minggu , 8 Maret 2015

Tambora dari Doro Peti

Tambora dari Doro Peti

Hujan mendera Bumi Tambora. Deras dan berisik. Mendung yang tebal seakan memaksa otak kami dipenuhi aura prediksi pesimistis, pasti hujan ini akan memakan waktu yang lama. Rencananya kami akan start pukul 13.30 WITA, namun ini hujan terlalu deras, bisa saja kami akan memulai pendakian esok pagi. Padahal dalam perjalanan menuju Pancasila ga terlihat tanda – tanda hujan. Cerah banget, but now …………

Rasa kantuk merayuku begitu kulihat hamparan kasur di penginapan. Ingin rasanya merebahkan badan dan hanyut dalam lelap. Apalagi habis makan banyak di kedai sederhana Mbok Sum. Makanan bercita rasa jawa di bumi Tambora. Memang sejak dari Dompu aku tidak tidur, tidak merasa sedikitpun ngantuk, tapi sekarang ………………..

Akhirnya curah hujan mulai berkurang, tinggal gerimisrintik – rintik. Chimot bergegas mempersiapkan diri. Sepatu dan jas hujan sudah siap untuk dikenakan. Aku mulai mengatur camilan cokelat di tas kecil, perlengkapanku sudah siap dari awal, tinggal nge-charge HP aja. Ku lihat Chimot berbincang dengan Bang Ipul. Dari Bang Ipul kami baru tahu kalo Tambora sudah sebulan tidak didaki, dan selama itu penduduk Tambora berbenah dengan mempersiapkan shelter – shelter baru. Yup tahun ini ada event bertajuk Tambora Menyapa Dunia – Memperingati Gelegar 200 Tahun meletusnya Tambora. Dan kami adalah tim pertama yang menikmati shelter – shelter baru dan satu – satunya tim yang medaki saat itu. Yes !!! akhirnya tercapai juga keinginan mendaki tanpa pendaki lain. Ini bakal menjadi sebuah pengalaman yang keren. Pongah nian kami ini ………..

Absen

Absen

Selagi mempersiapkan diri, Bang Ipul membekali kami rute perjalanan. Kata dia jalur menuju puncak, tepatnya tepian kaldera sebelum puncak terdapat patahan. Patahan itu baru terjadi dalam satu bulan terakhir saat pendakian terakhir Bang Ipul bersama Tim National Geographic.

Lapangan Desa Pancasila

Lapangan Desa Pancasila

Persiapan sudah matang, kami pun berpamitan dengan Bang Ipul. Pesen terakhir Bang Ipul, “ jangan terlalu memaksakan “. Kami pun berangkat dengan semangat. Awalnya kami berencana memakai jasa ojek hingga Pintu Rimba, namun ternyata jasa ojek itu hanya “mitos” belaka. Dan untuk pertama kalinya, aku mendaki hanya berdua.

Perjalanan dimulai dengan jalan lebar nan becek. Terik mentari sore pun seakan merebus badan kami yang terlanjur berselubung jas hujan. Keringat bercucuran begitu deras menerbitkan rasa haus. Kami terus mengikuti jaringan TR PLN yang mengarah ke Pura Tambora, sesuai pesan Bang Ipul. Beberapa kali kami bertemu dengan warga yang mengendarai motor sambil membawa kayu – kayu panjang. Sejauh ini gejala sindrome awal pendakian tidak terjadi pada kami. Biasanya kalo ga pusing, mual, muntah sampai BAB.

Shelter 1

Shelter 1

Setengah jam kemudian sampailah di Shelter 1 yang baru saja dibangun. Sekitar 10 menit kami beristirahat, lalu perjalanan kami lanjutkan melewati jalan yang sudah tidak terlalu becek tapi begelombang dan sedikit menanjak. Setengah jam kemudian kamipun sampai di pesimpangan. Kami sandarkan beban dan memutuskan untuk melepas jas hujan. Yup, bener – bener basah kuyup kami. Di sini kami sempat bingung arah mana yang akan diambil karena tanda arah ke Puncak tidak meyakinkan. Hingga kami menemukan ikatan tali raffia. Bisa jadi inilah yang disebut Pintu Rimba. Tulisannya sih tidak ada namun mulai disinilah kami memasuki hutan.   Teduh dan masih cukup datar. Dengan perjalanan santai , sekitar setengah jam kemudian kami sampai di Shelter 2 Baru. Istirahat lagi.

Pintu Rimba

Pintu Rimba

Dari Shelter 2 Baru, jalur kembali terbuka. Terik mentari kembali mencubit kulit kami. Kami tetap semangat berjalan dengan target POS 2. Berbekal kordinat GPS yang tertanam di Xiaomi kami jelas sangat pede menggagahi Tambora. Dan kurang dari setengah jam kami sampai di Shelter 3 Baru. Wow…. Jarak antar shelter yang berdekatan berhasil membuat kami semakin pongah. Sebentar lagi pasti Pos 1, itu jelas menggema dalam pikiran kami. Tambora ternyata ga seberapa, hmmm…….

Waktu mendekati pukul 18.00, gelap mulai menjatuhkan jubahnya. Perjalanan mulai terasa berat, beban pun mulai mencekik semangat. Aku meminta Chimot untuk istirahat, waktu menjelang Maghrib. Seperti biasa ada sesuatu yang membuatku lemah ketika matahari tenggelam. Ibarat Ayam jantan yang mengidap rabun senja aku mulai merasa lemah terutama di penglihatan. Mungkin inilah yang dirasa Clark Kent ketika berdekatan dengan kryptonite.

Sudah cukup istirahat kami melanjutkan perjalanan. Baru 5 menit aku minta istirahat lagi. Aku bener – bener ngantuk dan capek. Kembali aku paksakan untuk berjalan. Lagi – lagi 10 menit kemudian aku minta istirahat lagi. Rasa kantuk ini begitu dahsyat merayu mata. Terlihat Chimot yang mulai kehabisan kesabaran menghadapi aku. Aku duduk tertunduk menatap langit, ingin rasanya cepat sampai. Berat banget ini tas. 17 Kg terakhir diukur di bandara Soetta. Sambil menungguku, Chimot melihat ke arah Xiaomi nya yang masih kinyis – kinyis habis beli saat promo di Lazada. Kata Chimot, masih 2 km lagi jarak kami dengan Pos 1. Gila padahal ini sudah 19.00. Aku mulai beranjak dan me-recovery semangat, tiba – tiba hujan datang tanpa pesan membawa gulana. Kami berdua bergegas memakai jas hujan. Dan entah bagaimana, derasnya hujan serasa melecut semangatku. Rasa kantuk hilang, kata Chimot aku seperti berlari kesetanan mencari tempat berteduh.

Setelah sekian lama berjalan, staminaku mulai kendor. Aku mulai ngawur dengan usul untuk mendirikan tenda di tempat yang ga memungkinkan. Aku frustasi. Chimot dengan sabar meng-OK–kan permintaanku namun dengan syarat harus rata tanahnya. Saat itu medan yang kami hadapi sudah ga datar lagi. Kalo pun datar semua penuh dengan belukar. Perasaanku berkecamuk seiring hujan deras yang tidak kunjung reda. Jalan setapak yang kami lalui pun telah tergenang air. Kami seperti berjalan melawan arus sungai. Air mengalir deras di jalan setapak. Hingga aku pun “keplenyok” kotoran sapi yang terekstrak oleh air hujan. Sialnya ujung sepatuku menganga terbuka, masuklah itu kotoran. Merembes pasti di pori – pori sol sepatu, menembus rajutan kaos kaki dan akhirnya mencumbu kakiku.

Sekitar 3-4 kali aku meminta Chimot untuk berhenti dan mendirikan tenda, Namun dia tetap meyakinkanku bahwa   kami akan mendirikan tenda jika lokasi memungkinkan. Aku capai sekali dan rasa kantuk mulai menyerang lagi. Dibawah hujan yang masih deras kami duduk diantara belukar. Pukul 20.30 , Gelap malam mendekap mesra sang rimba, basah dan lembab. Chimot membuka dengan hati – hati kembali Xiaomi kesayanagannya dan berkata kurang 40 meter lagi ke POS 1. Sekejap, langsung saja aku beranjak, kupercepat langkah. Kira – kira 10 menit kemudian aku melihat petunjuk arah Puncak dan Pos 2. Aku berteriak, “ Mot ini POS 2 , kita melewati POS 1 ternyata “. “ Bukan ini POS 1, Freak !!! “. Aku tetap keukeuh itu POS 2. Dan benar , ini baru POS 1. Yup ini baru POS 1. Ternyata aku telah meracau karena lelah , ngantuk dan “ rabun senja “

Jam tangan menunjukkan waktu 20.40. Kami memutuskan untuk bermalam di POS 1. Kami dirikan tenda di dalam Shelter POS, karena kami yakin dalam hutan yang luas ini hanya ada kami berdua yang berwujud manusia asli.

Dalam lelah dan kantuk kami berbaring sambil menelan “pil pahit “. Target sampai di POS 2 dan berjalan hingga jam 11 malam kami lipat dan kami masukkan ke saku celana yang terdalam. Hingga sebuah pertanyaan menggema dalam benak kami ………. “ Apakah aku sudah terlalu tua untuk mendaki sebuah gunung ? …. “ , “Apakah cukup sampai POS 1 saja, terus esok pulang ? “. Malam itu susu coklat serasa tawar, masakan kami pun terasa hambar.

Dalam sleeping bag semangat pun seperti memudar ditelan deru angin dan derasnya hujan. Bara panasnya nya menari gontai terhimpit rasionalitas. Pesan terakhir Bang Ipul menggema di dalam tenda, seakan menenggelamkan suara hujan. Ah … POS 1 saja seperti ini, apalagi POS selanjutnya. Menyedihkan ………

Diantara carut marutnya debat kata hati, tiada terduga Sang Paramitha merasuk dan menjentikan jari lentiknya di sumbu jiwa, hingga asa pun mampu bertahan dihujam keraguan seiring lelehan lilin putih yang kemudian diingkari ………………………………..

Bersambung ….

6 thoughts on “TAMBORA (1) : Semangat Yang (Sempat) Patah

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s