Jam tangan Eiger-ku menunjukkan pukul 2.00 WITA. Di luar tenda terdengar sangat sibuk. Ini adalah waktu tepat untuk menjemput Matahari di puncak Rinjani. Namun Aku dan Chimot terlalu letih untuk itu, apalagi belum ada kabar dari Mantos, Edo dan Ervan. Dimana mereka ? Kegelisahan, rasa pegal badan dan dinginnya suasana bercampur aduk.
Ketika sampai di Plawangan, Aku dan Chimot sepakat tidak akan mendaki puncak sebelum ngumpul bareng. Kami ingin menikmati puncak bersama – sama. Terasa kram otak ini. Dahaga akan kehangatan menjerit setiap tetesan hujan menyentuh wajah. Sengaja tiada sengaja kuteguk arak. Sedikit kehangat menjalar pelan menyentuh organ – organku. Tak sadar aku sebenarnya mabuk oleh arak itu…
Jam 6 pagi menjelang. Chimot berteriak – teriak memanggil. Jawaban pun menggema di dinding lembah. Itu suara Ervan. Kami pun segera meninggalkan tenda dan menuju suara jawaban itu. Setelah hamper 400 meter, terlihatlah tenda warna orange milik Ervan. Mereka bertiga selamat.
Semua pertanyaan dan jawaban saling berlomba keluar dari mulut kami. Rasa ingin tahu dan kawatir bagai trigger yang membuat pagi itu terasa indah hingga terlupa, harus nya kami sudah ada di puncak Rinjani.
……………………………………….
10.00 WITA
Perjalanan menuju puncak Rinjani kami mulai. Banyak dari para pendaki saat itu terheran ketika mengetahui apa yang akan kami lakukan pada jam itu. Tidak lumrah, menuju puncak pada siang hari. Aneh. Ya beginilah ketika kita harus mengimbangi laju sang waktu. Mungkin kita tak bertemu dengan fajar namun masih mungkin untuk bisa menjilat kerikil – kerikil puncak Rinjani.
Menantang gravitasi di kemiringan kurang lebih 30o memang tidaklah mudah. Namun selama tidak licin karena kerikil bagi kami tidak terlalu bermasalah. Pendakian semakin curam, hampir securam rute setelah Pos 3. Untung beban kami ringan, hanya kamera dan air minum serta sedikit jajanan roti. Sudah satu jam kami belum di tepian kawah. Rute semakin sulit, didominasi pasir dan bebatuan.
Tanpa bersepatu, kami harus berjuang melewati rute berbatu kecil yang rentan mudah “longsor”. Setiap injakan, kaki kami tenggelam dalam pasir itu. Keirikil itu meyelip di natara sol sandal dan tapak kami, terasa sakit. Beberapa dari kami memutuskan untuk bertelanjang kaki. Cara itu menjadi solusi yang bagus.
Menengadah dan menengadah, leher pegal namun mata masih menyala. Jejak jejak lelehan lava menuntun kami hingga ke bibir kaldera. Terlihat Segara Anak yang berwarna hijau karena effect belerang begitu anggun memberi nuansa pada gunung Barujari yang mengepalkan asapnya ke langit. Indah. Mengagumkan.
Waktu menampar kami untuk segera melihat singgasana Dewi Anjani. Kami melanjutkan perjalanan. Kanan adalah dinding alam yang curam, kiri adalah rongga kaldera, kami berjalan pelan di celah ajal.
Udara semakin menipis. Jantung kami mulai mengeluh. Kepala terasa pening. Namun passion masih meraja di kalbu. Memang ini adalah modal utama kami. Kabut mulai nakal mengelabuhi mata kami. Fatamorgana puncak menggila. Dimana kah tahta mu Dewi ? 3 jam sudah kami berjalan kea rah timur. Senja pun mulai menggeliat dibelai kejora. Tepian kaldera semakin sempit, seakan mengerucut. Pasir dan kerikil menjadi penghalang langkah kami. Kami mulai merayap, bebatuan berjatuhan menuju kuatnya gravitasi. Gentar lah kami. 50 meter di depan mata Puncak itu menggoda, kami tak juga mampu bergerak maju, seperti berjalan dir el Gym. Waktu sudah menunjuk 16.30 WITA. Ah haruskah kami menyerah ?
Dalam kelelahan, dalam rasionalitas dan realitas. Mataharipun sudah letih. Kami berjalan getir untuk mengejar kegelapan yang mulai mengintip di celah hari. Kami menyerah ? iya, namun suatu saat pasti ada kesempatan.
Dan kami telah menerima ajaran Sang Rinjani tentang makna sebuah perjuangan……………..